is publicating my self……….

Gempa 30 S 2009


SEBUAH CATATAN HARIAN

GEMPA RANAH MINANG 30 SEPTEMBER 2009

Oleh

Rhudy Marseno*

Tepat pada pukul 17.16 WIB, gempa berkekuatan 7,6 SR menghentak bumi Sumatera Barat dan sekitarnya selama kurang lebih 1 menit. Menurut beberapa informasi, getaran gempa juga dapat dirasakan di Malaysia, Singapura, dan orang-orang yang berada di gedung bertingkat di Kota Jakarta. Gempa yang berpusat di 22 Km Barat Daya Pariaman  (0,72 LS-99,94 BT) dengan kedalaman 80 km menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) ini telah meluluhlantakkan tatanan kehidupan di dua daerah yang paling dekat dengan episentrum gempa, yaitu kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Di dua tempat tersebut, sebagian besar rumah mengalami retakan yang cukup parah dan tak sedikit yang rata dengan tanah, sehingga hanya menyisakan puing-puing bagi pemiliknya. Jalan-jalan juga mngalami retakan dan terdapat celah yang cukup dalam, sehingga banyak yang tidak bisa lagi dilalui oleh kendaraan bermotor, terutama kendaraan roda empat. Penduduk yang berada dekat dengan garis pantai segera berlarian menyelamatkan diri karena merebaknya isu tsunami yang segera akan menghantam Kota Padang dan sekitarnya beberapa menit setelah kejadian gempa.

Suasana kota semakin mencekam dengan teriakan-teriakan dari orang-orang yang belum menemukan sanak saudaranya yang terpisah saat menyelamatkan diri atau karena masih terjebak di dalam puing-puing reruntuhan bangunan. Belum lagi kepanikan yang melanda warga karena langit-langit kota penuh ditutupi dengan asap yang membubul dari bangunan-bangunan yang terbakar akibat hubungan arus pendek listrik saat gempa melanda. Hampir semua fasilitas kota lumpuh akibat gempa, sambungan listrik di semua penjuru kota sengaja dipadamkan untuk mencegah kebakaran meluas dan air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) tidak mengalir karena pipa-pipa air banyak yang rusak akibat gempa. Riuh alarm dari mobil ambulan berseliweran yang sibuk mengevakuasi korban gempa, mobil pemadam kebakaran yang berusaha memadamkan kebakaran yang terjadi hampir di setiap sudut kota dan mobil kepolisian yang berusaha menstabilkan situasi  ikut menambah kepanikan warga kota yang sebelumnya tidak pernah membayangkan bencana seperti ini melanda sehingga kelengahan mereka berakibat fatal.

Pada saat yang bersamaan, sekumpulan mahasiswa berseragam dan menggunakan scraft merah sebagai tanda pengenal mereka tengah bersiaga mempersiapkan segala bantuan yang bisa mereka berikan sebagai Tim Bantuan Medis kepada para korban bencana gempa. Sekumpulan mahasiswa ini menamakan diri mereka Hippocrates Emergency Team (HET).

***

Saat ini saya tercatat sebagai mahasiswa tahun ketiga di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Jurusan Pendidikan Dokter. Sebagai mahasiswa, saya disibukkan dengan rutinitas perkuliahan setiap harinya, membaca puluhan lembar buku-buku kuliah yang rata-rata memiliki ketebalan cukup tinggi, jurnal-jurnal ilmiah dalam berbagai judul, dan tentu saja kegiatan-kegiatan harfiah sebagai manuasia. Seperti sebagian besar mahasiswa pada umumnya, rutinitas saya tidak hanya monoton pada kegiatan akademik saja, tapi juga disibukkan dengan kesibukan sebagai aktivis sebuah organisasi kemahasiswaan. Tapi ada yang unik dengan organisasi kemahasiswaan yang telah saya pilih sebagai rumah kedua bagi saya ini. Organisasi ini mungkin bukanlah organisasi yang dipilih oleh sebagian besar mahasiswa Pendidikan Dokter yang selalu diidentikkan sebagai kutu buku yang selalu dihadapkan dengan tumpukan buku setiap harinya. Salah satu penyebabnya mungkin disebabkan karena sebagian kegiatan organisasi ini tidak lazim bagi mereka.

Organisasi saya ini bernama Hippocrates Emergency Team, selanjutnya disingkat dengan HET, sebuah organisasi yang bergerak sebagai Tim Bantuan Medis (TBM). Jika dilihat dari nama dan artinya, mungkin pembaca semuanya bisa membayangkan seperti apa organisasi ini dan apa saja kegiatan-kegiatannya. Secara garis besar, kegiatan HET terbagi atas 3 bagian yaitu kegiatan medis, kegiatan Alam terbuka dan kegiatan pengabdian masyarakat.. Pada kegiatan medis, anggota HET diajar dan dilatih berbagai ilmu medis terutama yang berkaitan dengan kasus kegawatdaruratan medis pra Rumah Sakit di lapangan, ilmu ini sangat dibutuhkan anggota HET saat bertugas sebagai TBM dalam menangani korban-korban di daerah bencana yang sulit mencapai akses fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit. Pada kegiatan alam terbuka, anggota HET diajar dan dilatih berbagai keterampilan alam terbuka seperti teknik survival, rappelling mountaineering dan teknik evakuasi yang menunjang kinerja anggota HET sebagai TBM di daerah bencana yang memiliki medan alam yang cukup sulit. Pada kegiatan pengabdian masyarakat, anggota HET diajari dan dilatih berbagai ilmu dan keterampilan mengangkatkan suatu kegiatan pengabdian seperti pengobatan yang dibutuhkan anggota HET saat bertugas sebagai TBM dalam rehabilitasi daerah bencana. Walaupun ketiga kelompok kegiatan ini cukup bertolak belakang jika diperhatikan sepintas, tetapi ketiganya memiliki orientasi yang sama, yaitu mendukung kinerja anggota HET sebagai Tim Bantuan Medis.

Melalui tulisan ini, saya akan mengulas pengalaman pribadi saya beserta anggota HET lainnya saat ditugaskan sebagai TBM bencana gempa Sumatera Barat pada tanggal 30 September 2009. Melalui tulisan ini, pembaca bisa memetik pelajaran bagaimana kedisiplinan, loyalitas dan dedikasi akan tugas dan tanggung jawab bisa mengalahkan egoisme individual bahkan pada situasi yang tidak menguntungkan sekalipun. Selain itu, pembaca juga bisa menyaksikan bahwa untuk membuat suatu pekerjaan menghasilkan hasil yang maksimal tidak hanya dibutuhkan satu keahlian atau keterampilan saja, tetapi juga dibutuhkan berbagai keahlian sekalipun keahlian itu bertolak belakang dengan keahlian yang kita miliki saat ini.

***

Rabu, 30 September 2009, pukul 16.15 WIB. Sore itu adalah sore yang cerah dan tenang, sama seperti sore-sore sebelumnya. Di jalan-jalan kota, tampak kendaraan memadati arus lalu-lintas, beberapa pusat perbelanjaan dipadati calon pembeli, dan pusat-pusat hiburan dipadati para pengunjung. Keadaan seperti ini tidak mengherankan karena pada waktu ini adalah jam pulang kantor bagi sebagian pegawai. Banyak warga yang sibuk membeli beberapa keperluan untuk mempersiapkan makan malam keluarga, dan sebagian lagi melepas kepenatan atau sekedar melakukan hobi di beberapa pusat hiburan, pantai Kota Padang salah satu primadonanya.

Di sudut kota yang lain, tepatnya di kampus Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, saya dan teman-teman yang tergabung dalam Hippocrates Emergency Team (HET) sedang berkumpul di kantor Sekretariat HET mengikuti rapat technical meeting untuk wawancara open recruitment anggota baru, semacam rapat persiapan penerimaan anggota baru untuk regenerasi organisasi. Hampir seluruh anggota aktif* hadir pada rapat tersebut. Rapat ditutup pada pukul 17.10 WIB dan dilanjutkan dengan evaluasi anggota Biasa.

Sekitar enam menit berselang setelah rapat ditutup, yaitu sekitar pukul 17.16 WIB, saya merasakan getaran pada tanah yang saya injak. Sejurus kemudian saya menangkap gambaran gedung kampus dan beberapa tiang listrik yang berada di sekitar saya berdiri ikut bergoyang. Kemudian beberapa orang teman berteriak bahwa gempa sedang terjadi. Beberapa detik saya berusaha mencerna kata-kata mereka sebelum saya menyadari bahwa pada saat itu gempa bumi memang sedang terjadi.

Pada awalnya, saya dan teman-teman hanya berdiri diam menyaksikan gempa itu terjadi tanpa melakukan sesuatu hal yang berarti. Hal ini bukan disebabkan karena kami tidak tahu harus berbuat apa, tetapi kami berpikir bahwa belum perlu saatnya untuk berbuat sesuatu. Pikiran ini tidaklah terlalu mengherankan karena saat awal terjadi gempa, kekuatan getaran masih bisa dibilang kecil dan sebagai warga kota Padang, saya dan teman-teman sudah terbiasa dengan hal ini. Sekedar informasi, gempa dengan getaran kecil atau getaran besar tapi tidak bersifat destruktif sering melanda Kota Padang dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Sebagai contoh, dua tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2007, Kota Padang diguncang gempa bumi yang berskala cukup besar, tetapi tidak menimbulkan efek yang signifikan terhadap infrastruktur kota.

Namun, setelah beberapa detik gempa bumi berlangsung, getaran yang pada awalnya lemah berubah menjadi semakin kuat. Gempa yang pada awalnya hanya menggetarkan gedung-gedung kampus di hadapan saya berubah menjadi menghentak kuat, sehingga mulai muncul retakan besar dan beberapa material gedung mulai berjatuhan. Saya yang pada awalnya mampu berpijak dengan mantap sekarang sudah mulai kehilangan keseimbangan. Kendaraan bermotor roda dua yang banyak terparkir di depan Kantor Sekretariat HET mulai berjatuhan. Mulai saat itu, saya dan teman-teman anggota HET mulai mencium masalah besar  sedang terjadi.

Kepanikan di halaman kampus mulai pecah. Beberapa orang mahasiswa dan dosen yang masih berada di dalam gedung mulai berlarian keluar gedung dan berkumpul di halaman kampus, sedangkan beberapa orang lainnya sibuk menghubungi keluarga dan sanak saudara lainnya untuk sekedar menanyakan kondisi mereka. Seperti masyarakat umum lainnya, tidak ada sesuatu hal terlalu berarti yang dapat mereka lakukan. Ketakutan dan kepasrahan jelas terlihat dari rawut wajah mereka saat itu.

Kondisi yang jauh berbeda terjadi di sekitar kantor Sekretariat HET. Teman-teman anggota HET segera melakukan serangkaian langkah penyelamatan yang bertujuan agar efek yang ditimbulkan akibat gempa tidak terlalu meluas. Beberapa menit berikutnya, Koordinator SATGAS* langsung menyiagakan seluruh anggota HET. Dengan berbekal belasan pendidikan kegawatdaruratan yang pernah diikutinya, coordinator SATGAS tampaknya sudah mengerti betul apa yang harus diperbuatnya saat itu. Mempersiapkan anggota menjadi TBM dalam waktu yang singkat merupakan pilihan utama. Serangkaian kegiatan dilakukan untuk merealisasikannya, salah satunya menyiagakan seluruh anggota.

Di dalam siaga bencana tersebut, seluruh anggota HET, terutama anggota aktif, diinstruksikan untuk mempersiapkan seluruh keperluan yang diperlukan sebagai TBM dalam waktu hanya 10 menit. Mempersiapkan seluruh keperluan yang dibutuhkan dalam waktu 10 menit bagi sebagian orang mungkin terdengar mustahil. Anggapan itu cukup beralasan karena sebagian rumah tinggal atau rumah kontrakan mayoritas anggota HET juga tak luput dari hentakan gempa. Pengalaman ini saya alami sendiri. Saat orang lain sibuk menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman dan mengevakuasi barang-barang berharga mereka dari rumah yang telah hancur, kami justru harus mempersiapkan barang-barang yang kami butuhkan saat ditugaskan menjadi TBM nanti dalam waktu yang relative singkat. Kami tidak bisa bermain dengan waktu, karena satu detik saja waktu terbuang sama dengan beberapa nyawa melayang menanti pertolongan kami. Loyalitas, tanggung jawab dan kedisiplinan sangat diuji dalam pengorbanan ini. Namun, fakta membuktikan, mayoritas anggota HET mampu lulus dengan hasil yang sangat memuaskan dalam ujian ini. Tidak ada yang terlalu mengherankan. Dalam setiap rangkaian pendidikan yang kami tempuh selama ini di HET, kami telah ditempa untuk terbiasa dengan kondisi ini, bahkan mungkin dalam kondisi yang lebih sulit sekalipun. Sekali lagi, pengorbanan besar membuahkan hasil.

Satu tanggapan

  1. lebaaay….hahahha.h…

    Februari 28, 2010 pukul 10:43 am

Tinggalkan komentar