is publicating my self……….

Uncategorized

PENYAKIT JANTUNG KONGESTIF


MODUL V
PENYAKIT JANTUNG KONGESTIF

UNIT PEMBELAJARAN 5

SKENARIO 5 : JANTUNG NY. F YANG GAGAL

Ny. F, 35 th seorang ibu rumah tangga menemui dokter keluarga karena mengeluh sesak waktu melakukan pekerjaan rutin sehari-hari sejak 2 minggu yang lalu, disertai dengan sedikit edema pada kedua tungkai. Dia mempunyai riwayat waktu berusia 10 tahun pernah mengalami sakit dan bengkak pada sendi yang berpindah, sering didahului dengan radang tenggorokan yang berulang.
Pada pemeriksaan oleh dokter ditemukan takipnea, BP 100/70, HR 120x/menit irregular, suhu normal, bising sistolik dan diastolic di apek kordis, serta edema pada kedua tungkai. Pada pemeriksaan EKG dan rongent torax ditemukan tanda-tanda kardiomegali dan edema pulmonal. Mengingat kondisi Ny. F yang lemah oleh dokter dianjurkan dianjurkan dirujuk ke RS. Dr. M. Djamil.
Karena kondisi social ekonomi Ny. F baru pergi ke RS setelah 2 minggu kemudian dalam keadaan semakin sesak, tanda-tanda di antara lain: pre syok dan nadi halus dan cepat. Tekanan darah tidak terukur dan penurunan kesadaran. Pada EKG ditemukan tanda-tanda AF rapid ventricular respons. Dokter memberikan penjelasan tentang kondisi pasien, sekaligus meminta informed consent dari keluarga kemungkinan tindakan yang akan diambil untuk mengatasi keadaan emergensi, setelah beberapa lama dilakukan tindakan terdapat perbaikan dari vital sign. Bagaimana anda menjelaskan tentang keadaan Ny. F?

I. KLASIFIKASI TERMINOLOGI

Terminologi yang diperoleh adalah
1. Penyakit jantung kongestif, yaitu keadaan dimana terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompenstoriknya
2. AF rapid ventricular respon, yaitu atrial fibrilasi dengan respon ventrikel yang cepat ( >100)
3. Presyok, yaitu suatu kondisi dimana sudah timbul tanda-tanda atau manifestasi klinik dari syok

II. IDENTIFIKASI MASALAH

Rumusan masalah berdasarkan scenario ini adalah
1. Kenapa sejak 2 minggu yang lalu, Ny. F mengeluh sesak waktu melakukan pekerjaan rutin sehari-hari dan sedikit edema pada kedua tungkai?
2. Apakah ada pengaruh keadaan 10 tahun yang lalu dengan keadaan Ny. F sekarang?
3. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang?
4. Apa indikasi dilakukan perujukan?
5. Kenapa ditemukan bising sistolik dan diastolic di apek kordis? Apa alasannya?
6. Kenapa keterlambatan datang ke rumah sakit menyebabkan Ny. F mengalami pre syok, nadi halus dan cepat, Tekanan Darah tidak terukur dan penurunan kesadaran?
7. Apa diagnose penyakit Ny. F? apa penanganan terhadap penyakit Ny. F?
8. Apa tindakan emergensi yang perlu dilakukan? Kenapa inform consent perlu diminta?

III. ANALISA MASALAH

Analisa permasalahan adalah
1. Kenapa sejak 2 minggu yang lalu, Ny. F mengeluh sesak waktu melakukan pekerjaan rutin sehari-hari dan sedikit edema pada kedua tungkai?
Ny. F mengeluh sesak waktu melakukan pekerjaan rutin sehari-hari memiliki banyak kemungkinan penyebab. Salah satunya mungkin disebabkan karena curah jantung yang tidak adekuat atau kontraktilitas otot jantung tidak maksimal dan tidak efisien. Keadaan ini mungkin disebabkan karena insufisiensi pada katup jantung. Edema pada kedua tungkai mungkin disebabkan karena retensi air dan natrium yang terjadi sebagai kompensasi tubuh terhadap curah jantung yang tidak adekuat, yang menybabkan aliran balik vena meningkat yang meningkatkan permeabilitas vena sehingga dapat menyebabkan edema pada tungkai.

2. Apakah ada pengaruh keadaan 10 tahun yang lalu dengan keadaan Ny. F sekarang?
10 tahun lalu Ny. F pernah mengalami sakit dan bengkak pada sendi yang berpindah-pindah, dan didahului dengan radang tenggorokan yang berulang → kemungkinan Ny. F pernah menderita demam reumatik. Karena tidak diketahui apakah Ny. F, pada waktu itu, sempat berobat atau tidak, jadi bisa juga disimpulkan demam reumatik tersebut berkembang menjadi penyakit jantung reumatik. Kecurigaan ini didukung dengan ditemukannya bising sistolik dan diastolic di apek kordis (kelainan katup mitral).

3. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang?
a. Pemeriksaan fisik
Tekanan darah 100/70 : normal (systole 100-120 dan diastole 60-80.
HR 120x/menit irregular : nadi cepat dan tidak teratur (takiaritmia)
(normal HR 60-100x/menit)
Suhu normal (36,50 C-37,20 C)
Bising sistolik dan diastolic di apek kordis → kelainan di katup mitral
– Bising sistolik : saat kontraksi ventrikel, mitral tidak tertutup sempurna sehingga ada darah yang kembali masuk ke atrium (mitral regurgitasi).
– Bising diastolic : saat pengisian ventrikel, mitral tidak membuka sempurna sehingga terdengar desiran darah karena membutuhkan tenaga lebih menuju ventrikel (stenosis relative mitral).
Edema pada kedua tungkai → ada beberapa kemungkinan
– Diantaranya meningkatnya permeabilitas pembuluh darah sistemik

b. Pemeriksaan penunjang
Pada EKG ditemukan tanda-tanda kardiomegali dan edema pulmonal mengisyaratkan kemungkinan tanda-tanda penyakit jantung kongestif

4. Apa indikasi dilakukan perujukan?
Perujukan Ny.F kemungkinan dilakukan karena kondisi Ny.F yang lemah, takipnea dan edema pulmonal sehingga memerlukan pengawasan yang ketat dari dokter. Selain itu, dokter memperkirakan ada suatu gangguan pada jantungnya yang sewaktu-waktu membutuhkan suatu tindakan interventif, sehingga sangat menyulitkan jika pasien dirawat jalan. Perlengkapan medis yang dibutuhkan untuk mensytabilkan Ny.F juga menjadi salah satu indikasi kuat agar pasien harus dirawat inap.

5. Kenapa ditemukan bising sistolik dan diastolic di apek kordis? Apa alasannya?
Ny. F diprediksi mengidap demam rematik sebelumnya, sehingga terdapat insufisiensi katup mitral dan menyebabkan bising sistolik karenanya. Untuk insufisiensi katup mitral dapat menyebabkan gangguan aliran darah pada saat kontraksi ventrikel, yang menyebabkan terdapatnya liran balik ke atrium, sehingga menyebabkan terdapatnya gangguan distolik yang menghasilkan bising distolik.

6. Kenapa keterlambatan datang ke rumah sakit menyebabkan Ny. F mengalami pre syok, nadi halus dan cepat, Tekanan Darah tidak terukur dan penurunan kesadaran?
Gangguan pada jantung yang dialami oleh Ny. F pada awalnya memperoleh kompensasi dari tubuh. Tetapi kompensasi ini tidak berlangsung lama dan menetap. Saat Ny. F terlambat dirujuk sehingga terlambat untuk mendapat perawatan dan penanganan untuk penyakitnya, tubuh Ny. F tidak sanggup lagi memberikan kompensasi. Curah jantung yang tidak adekuat tidak lagi mendapat kompensasi, sehingga menyebabkan inefisiensi pengisian pembuluh darah. Keadaan ini menyebabkan timbul gejala-gejala syok.

7. Apa diagnose penyakit Ny. F? apa penanganan terhadap penyakit Ny. F?
Berdasarkan anamnesis dan temuan klinis pada hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang Ny. F, didapatkan diagnose sementara bahwa Ny. F menderita penyakit jantung kongestif.

8. Apa tindakan emergensi yang perlu dilakukan? Kenapa inform consent perlu diminta?
Berdasarkan diagnose penyakit Ny. F, bisa diperkirakan kemungkinan terdapat tindakan emergensi yang sewaktu-waktu mungkin dibutuhkan. Sebagai contoh, jika keadaan Ny. F semakin memburuk, maka penyebab penyakit Ny. F, yaitu insufisiensi katup mitral harus segera diperbaiki dengan tindakan bedah. Oleh karena itu, pengisian inform consent oleh pasien harus segera dilakukan agar menghemat waktu jika seandainya tindakan emergency harus dilakukan.

IV. SISTEMATIKA MASALAH
Sistematika berdasarkan permasalahan skenario terlampir.

V. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan pembelajaran adalah
Mahasiswa mampu menjelaskan gagal jantung dan syok (defenisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, manifestasi klinik, patologi, patofisiologi, diagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, prognosis, rujukan, diagnosis banding)

VI. MENGUMPULKAN INFORMASI TAMBAHAN

A. GAGAL JANTUNG
I. Definisi
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus memiliki tampilan berupa gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktivitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti obyektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.

II. Epidemiologi
Prevalensi gagal jantung pada keseluruhan populasi antara 2-30%. Angka prevalensi meningkat tajam pada populasi usia 75 tahun sehingga prevalensi pada kelompok usia 70-80 tahun sekitar 10-20%.
Empat puluh persen yang datang ke rumah sakit dengan diagnosis gagal jantung, meninggal atau mendapat perawatinapan kembali dalam waktu satu tahun pertama.

III. Etiologi

Penyebab umum gagal jantung karena penyakit miokardial
Kelompok Penyebab Penyebab
Penyakit jantung koroner Beragam manifestasi
Hipertensi Sering berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri dan heart failure with preserved ejection fraction
Kardiomiopati Genetic atau non-genetik (termasuk kardiomiopati didapat, contoh miokarditis) kardiomiopati hipertrofi, kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati restriktif
Obat-obat Golongan sitotoksik
Toksin Alcohol, kokain, trace elements (kobalt, arsen)
Endokrin Diabetes mellitus, hipo/hipertiroid, sindroma Cushing, insufisiensi adrenal
Nutrisi Defisiensi tiamin, selenium, karnitin, obesitas, kaheksia
Infiltratif Sarkoidosis, amiloidosis
Lain-lain Penyakit chagas, infeksi HIV, kardiomiopati peripartum, gagal ginjal stadium akhir

IV. Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan abnormalitas structural jantung (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA)

Klasifikasi gagal jantung menurut ACC/AHA
Tingkatan gagal jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung Klasifikasi fungsional NYHA

Tingkatan berdasarkan gejala dan aktifitas fisik
Stadium A
Memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat gangguan structural atau fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala Kelas I
Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak napas.

Stadium B
Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda atau gejala. Kelas II
Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.

Stadium C
Gagal jantung yang simptomatik berhubungan dengan penyakit structural jantung yang mendasari Kelas III
Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak

Stadium D
Penyakit jantung structural lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal (refrakter) Kelas IV
Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas

ACC = American College of Cardiology
AHA = American Heart Association
Hunt SA et al. Circulation. 2005;112:1825-1852 Nyha =New York Hearth Association
The Criteria Committee On The New York Heart Association Nomenclature And Criteria For Diagnosis of Disease of the Heart and Great Vessel.9ed. Boston, Mass:Little, Brown & Co;1994:253-256

V. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis gagal jantung
Tampilan klinis yang dominan Gejala Tanda
Edema perifer /kongesti Sesak nafas, kelelahan, mudah penat, anoreksia Edema perifer, peningkatan tekanan vena jugularis (JVP), edema paru, hepatomegali, asites, bendungan cairan (kongesti), kaheksia
Edema paru Sesak nafas yang sangat berat saat istirahat Ronki basah halus atau basah kasar di paru, efusi paru, takikardi, takipnu
Renjatan kardiogenik (gejala low output) Penurunan kesadaran, lemah, akral perifer dingin Perfusi perifer yang buruk, tekanan darah sistolik < 90mmHg, anuria atau oliguria
Tekanan darah yang sangat tinggi Sesak nafas Umumnya peningkatan tekanan darah, penebalan dinding ventrikel kiri dan ejeksi fraksi yang masih baik
Gagal jantung kanan Sesak nafas, mudah lelah Tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan, peningkatan JVP, edema perifer, hepatomegali, asites

VI. Patofisiologi
Pada Ny. F diperkirakan terdapat gangguan berupa insufisiensi katup mitral, yaitu katup yang membatasi antara ventrikel kiri dengan atrium kiri. Insufisiensi katup mitral ini menyebabkan sebagian darah yang dipompa oleh ventrikel kiri saat berkontraksi masuk kembali ke dalam atrium kiri. Hal ini menyebabkan terganggunya penutupan katup mitral sesaat sebelum diastolic dimulai, hal ini menyebabkan bunyi bising yang disebut bisisng diastoling. darah di atrium kiri ini lama kelamaan akan terakumulasi dan akhirnya darah tersebut akan masuk ke vena pulmonal dan ke paru karena tidak tertampung lagi di jantung kiri. Dara yang terakumulasi di paru ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan kapiler paru, permeabilitas pembuluh darah paru meningkat dan sebagian plasma darah keluar dari pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema pulmonal, sehingga pasien kesulitan bernafas.
Darah yang tidak sepenuhnya masuk ke aorta dan sistemik menyebabkan curah jantung menurun dan kebutuhan jaringan sistemik akan darah tidak terpenuhi, sehingga tubuh berusaha mengkompensasi dengan cara meretensi air dan natrium. Awalnya retensi ini bisa menstabilkan keaadaan, tetapi lama kelamaan retensi ini terus terjadi sehingga aliran balik vena meningkat, ini menyebabkan permeabilitas sistemik meningkat dan terjadilah edema tungkai.

VII. Diagnosis
Algoritma diagnosis gagal jantung pada pasien yang belum diterapi

Keterangan
BNP : B-type Natriuretic Peptide
NT-proBNP : N-terminal pro-B-type Natriuretic Peptide

VIII. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung penegakan diagnosis gagal jantung adalah
1. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (0,12 detik dg morfologi LBBB Disinkroni elektrik dan mekanik Ekokardiografi, CRT-P,CRT-D

Keterangan
LBBB: Left Bundle Branch Block
ICD: Implantable Cardioverter Defibrilator
CRT-P: Cardiac Resynchronization Therapy-Pacemaker
CRT-D: Cardiac Resynchronization Therapy-Defibrillator

2. Rontgen thoraks
Abnormalitas rontgen thoraks yang umum ditemukan pada gagal jantung
Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel kanan, atria, efusi perikard Ekokardiografi, Doppler
Hipertrofi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofi Ekokardiografi, Doppler
Tampak paru normal Bukan kongesti paru Nilai ulang diagnosis
Kongesti vena paru Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri Mendukung diagnosis gagal jantung kiri
Edema interstitial Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri Mendukung diagnosis gagal jantug kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan peningkatan tekanan pengisisan jika efusi bilateral, infeksi paru, pasca bedah/ keganasan Pikirkan etiologi non-kardiak (jika efusi banyak)
Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik Mitral stenosis/ gagal jantung kronik
Area paru hiperlusen Emboli paru atau emfisema Pemeriksaan CT, spirometri, eko
Infeksi paru Pneumonia dapat sekunder akibat kongesti paru Tatalaksana kedua penyakit:ngagal jantung dan infeksi paru
Infiltrate paru Penyakit sistemik Pemeriksaan diagnostic lanjutan

3. Pemeriksaan Laboratorium
Abnormalitas pemeriksaan laboratorium yang sering dijumpai pada gagal jantung
Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis
Peningkatan kreatinin serum (>150 μ mol/L Penyakit ginjal, ACEI, ARB, antagonis aldosteron Hitung GFR, pertimbangkan mengurangi dosis ACEI/ARB/antagonis aldosteron, periksa kadar kalium dan BUN
Anemia (Hb<13 gr/dl pada laki-laki, <12 gr/dl pada perempuan Gagal jantung kronik, gagal ginjal, hemodilusi. Kehilangan zat besi atau penggunaan zat besi terganggu, penyakit kronik Telusuri penyebab, pertimbangkan terapi
Hiponatremia (150 mmol/L) Hiperglikemia, dehidrasi Nilai asupan cairan, telusuri penyebab
Hipokalemia (5,5 mmol/L) Gagal ginjal, suplemen kalium, penyekat system RAA Stop obat-obat hemat kalium (ACEI/ARB, antagonis aldosteron), nilai fungsi ginjal dan pH, risiko bradikardia
Hiperglikemia (>200 mg/L) Diabetes, resistensi insulin Evaluasi hidrasi, terapi intoleransi glukosa
Hiperurisemia (>500 μmol/L) Terapi diuretic, gout, keganasan Allopurinol, kurangi dosis diuretic
BNP >400pg/mL, NT pro BNP>2000 pg/mL Tekanan dinding ventrikel meningkat Sangat mungkin gagal jantung
BNP <100 pg/mL, NT proBNP 45 g/L) Dehidrasi, myeloma Rehidrasi
Kadar albumin rendah (2,5 Overdosis antikoagulan, kongesti hati Evaluasi dosis antikoagulan, niali fungsi hati
CRP > 10 mg/L, lekositosis neutrofilik Infeksi, inflamasi Cari penyebab

4. Ekokardiografi
5. Cardiac Magnetic Resonance Imaging (CMR)
6. Cardiac CT Scan
7. Radionuclie Ventriculography
8. Test Fungsi Paru
9. Uji aktivitas Fisik
10. Monitoring EKG Ambulatoar (Holter)
11. Kateterisasi Jantung
12. Angiografi Koroner
13. Biopsi Endomiokardial

IX. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada gagal jantung meliputi:
1. Tatalaksana non-farmakologi
Tatalaksana non-farmakologi meliputi manajemen perawatan mandiri yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung. Topic-topik penting dalam edukasi pasien tentang keterampilan yang diperlukan dan perilaku perawatan mandiri yang benar meliputi:
a. Defenisi dan etiologi gagal jantung
b. Gejala dan tanda gagal jantung
c. Terapi farmakologi
d. Modifikasi factor resiko
e. Rekomendasi olah raga
f. Aktivitas seksual
g. Imunisasi
h. Gangguan tidur dan pernafasan
i. Kepatuhan
j. Aspek psikososial
k. Prognosis

2. Tatalaksana farmakologi
Tatalaksana farmakologi melalui
a. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
Indikasi: fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40% dengan atau tanpa gejala

b. Penyekat β
Indikasi pemberian penyekat β
• Fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40%
• Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
• ACEI/ARB ( dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah mencapai dosis optimal
• Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretic, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat

c. Antagonis Aldosteron
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
• Fraksi ejeksi ventrikel kiri <40%
• Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III-IV NYHA)
• Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)

d. Angiotensin Receptor Blockers (ARBs)
Indikasi ARB
• Fraksi ejeksi ventrikel kiri 80 x/menit atau saat aktifitas >110-120 x/menit
• Irama sinus, fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40% ; gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA); dosis optimal ACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis aldosteron jika ada indikasi

g. Diuretik
• Direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kengesti.
• Dosis:
• Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan tanda kongesti
• Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa retensi cairan), untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi
• Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis diuretic sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan tanda-tanda klinis dari retensi cairan

3. Tatalaksana Alat dan Pembedahan (Operasi)
Tatalaksana pembedahan yang dilakukan meliputi:
a. Deteksi Miokard Viabel
b. Operasi Katup Aorta
c. Operasi Katup Mitral
d. Cardiac Resynchronization Therapy (CRT)
e. Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD)

X. Prognosis
Kondisi-kondisi yang berhubungan dengan prognosis buruk pada gagal jantung
1. Demografik, meliputi:
a. Usia lanjut*
b. Etiologi iskemia*
c. Pasca resusitasi pada kasus mati mendadak*
d. Kepatuhan buruk
e. Disfungsi ginjal
f. Diabetes
g. Anemia
h. PPOK
i. depresi

2. Klinis, meliputi:
a. Hipotensi*
b. Kelas fungsional III-IV NYHA*
c. Riwayat rawat rumah sakit sebelumnya karena gagal jantung*
d. Takikardia ronki paru
e. Gangguan nafas yang berhubungan dengan tidur
f. Indeks massa tubuh rendah
g. Stenosis aorta

3. Elektrofisiologik, meliputi:
a. Kompleks QRS lebar*
b. Aritmia ventrikel kompleks*
c. Hipertrofi ventrikel kiri
d. Gelombang Q
e. Takikardia
f. Gelombang T berubah-ubah (alternans)
g. Variasi laju jantung rendah
h. Fibrilasi atrial

4. Fungsional
a. Kemampuan kerja berkurang*
b. Puncak konsumsi oksigen rendah*
c. Hasil buruk pada uji jalan enam menit
d. Pernafasan periodik

5. Laboratorium
a. Peningkatan nyata kadar BNP/ NT proBNP*
b. Hiponatremia*
c. Peningkatan biomarker aktivasi neurohormonal*
d. Peningkatan troponin*
e. Peningkatan asam urat
f. Peningkatan bilirubin
g. Peningkatan kreatinin/BUN
h. anemia

6. Pencitraan
a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri rendah*
b. Hipertensi pulmonal
c. Tekanan pengisisan ventrikel kiri yang tinggi
d. Gangguan fungsi ventrikel kanan
e. Peningkatan volume ventrikel kiri

Keterangan
* : predictor kuat

B. SYOK
I. Definisi
Syok adalah gangguan sistem sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan atau suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis

II. Etiologi
A. Syok Kardiogenik

1. Disebabkan oleh Disritmia
a. Bradidisritmia
b. Takidisritmia

2. Disebabkan oleh factor mekanis jantung
a. Lesi regurgitasi
– Insufisiensi aorta atau mitralis akut
– Rupture septum interventrikularis
– Aneurisma ventrikel kiri masif
b. Lesi obstruktif
– Obstruksi saluran keluar ventrikel kiri, seperti stenosis katup aorta congenital atau di dapat, dan kardiomiopati hipertrofi obstruktif
– Obstruksi saluran masuk ventrikel kiri, seperti stenosis mitralis, miksoma atrium kiri, thrombus atrium.

3. Miopati
a. Gangguan kontraktilitas ventrikel kiri, seperti pada infark miokardium akut atau kardiomiopati kongestif
b. Gangguan kontraktilitas ventrikel kanan yang disebabkan oleh infark ventrikel kanan
c. Gangguan relaksasi atau kelenturan ventrikel kiri, seperti pada kardiomiopati restriktif atau hipertrofik

B. Syok Obstruktif*
1. Tamponade pericardium
2. Koarktasio aorta
3. Emboli paru
4. Hipertensi pulmonalis primer
* Disebabkan oleh factor-faktor ekstrinsik terhadap katup-katup jantung dan miokardium

C. Syok Oligemik
1. Perdarahan
2. Kekurangan cairan akibat muntah, diare, dehidrasi, diabetes mellitus, diabetes insipidus, kerusakan korteks adrenal, peritonitis, pancreatitis, luka bakar, adenoma vilosa, ascites, atau feokromositoma

D. Syok Distributif
1. Septicemia
– Endotoksik
– Akibat infeksi spesifik, seperti demam dengue

2. Metabolic atau toksik
– Gagal ginjal
– Gagal hati
– Asidosis atau alkalosis berat
– Overdosis obat
– Intoksikasi logam berat
– Sindrom syok toksik (kemungkinan disebabkan oleh eksotoksin stafilokok)
– Hipertermia maligna

3. Endokrinologik
– Diabetes mellitus tak terkontrol dengan koma ketoasidosis atau hiperosmolar
– Kerusakan korteks adrenal
– Hipotiroidisme
– Hiperparatiroidisme atau hipoparatiroidisme
– Diabetes insipidus
– Hipoglikemia akibat kelebihan insulin eksogen atau akibat tumor sel beta

4. Mikrosirkulasi, akibat berubahnya viskositas darah
– Polisitemia vera
– Sindrom hiperviskositas, termasuk myeloma multiple, makroglobulinemia, dan krioglobulinemia
– Anemia sel sabit
– Emboli lemak

5. Neurogenik
– Seebral
– Spinal
– otonom

6. Anafilaktik

III. Klasifikasi
Berdasarkan mekanismenya, syok diklasifikasikan sebagai berikut
1. Syok kardiogenik
2. Syok obtruktif
3. Syok oligemik
4. Syok distributive

Berdasarkan penyebabnya, syok diklasifikasikan sebagai berikut
1. Syok hipovolemik, yaitu kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat.
2. Syok kardiogenik

3. Syok neurogenik
4. Syok septic
5. Syok anafilatik

IV. Manifestasi Klinik
Secara umum, manifestasi klinik syok adalah sebagai berikut
1. System Kardiovaskuler

Manifestasi klinik berupa:
a. Gangguan sirkulasi perifer berupa pucat dan ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah.
b. Nadi cepat dan halus
c. Tekanan darah rendah
d. Vena perifer kolaps
e. CVP rendah

2. System Respirasi
Manifestasi klinik berupa pernapasan cepat dan dangkal.

3. System Saraf Pusat
Manifestasi klinik berupa perubahan mental pasien

4. Sistem Saluran Cerna
Manifestasi klinik berupa mual dan muntah.

5. System Saluran Kencing
Manifestasi klinik berupa berkurangnya produksi urin. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60 ml/jam ( 1/5-1 ml/kg/jam)

V. Patofisiologi
Berbagai mekanisme dapat menyebabkan terjadinya syok. Curah jantung yang berkurang karena gagal jantung atau karena perdarahan, vasodilatasi karena berbagai sebab seperti rangsangan simpatis parasimpatis, reaksi antigen dan antibody dapat menyebabkan pengisian pembuluh darah tidak maksimal, sehingga biasanya ditemukan manifestasi klinik berupa vena perifer kolaps dan CVP yang rendah.. Hal ini menyebabkan pasokan darah tidak mampu memenuhi kebutuhan darah.
Keadaan ini dikompensasi oleh tubuh dengan berbagai cara. Diantaranya dengan vasokonstriksi pembuluh darah perifer sehingga ekstremitas tampak pucat dan dingin, jantung berusaha berkontraksi lebih cepat untuk menghasilkan curah jantung lebih banyak sehingga nadi menjadi cepat walaupun halus. Kondisi ini juga menyebabkan kebutuhan akan oksigen semakin meningkat, sehingga pasien bernafas denga cepat dan dangkal.
Selain itu, kompensasi tubuh juga dapat berupa retensi cairan di ginjal, sehingga produksi urin pasien menjadi berkurang dari normal.

VI. Penatalaksanaan
Sistematika penatalaksanaan syok Hipovolemik

Sistematika penatalaksanaan syok Kardiogenik

Sistematika penatalaksanaan syok Neurogenik

Sistematika penatalaksanaan syok Anafilatik

Sistematika penatalaksanaan syok Septik

VII. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan menifestasi anamnesis, pemeriksaan fisik dan dari manifestasi klinik yang muncul.

VIII. Prognosis
Pasien yang menderita syok akan memperoleh prognosis yang cukup baik jika penanganan dini dapat diberikan dalam waktu cepat seperti resusitasi cairan dan penanganan factor penyebab.

DAFTAR PUSTAKA

Hippocrates Emergency Team (HET): Prosedur Tetap, 2010
PERKI : Pedoman diagnosis & Tatalaksana Gagal Jantung, Jakarta, 2009, MED
Price, Sylvia A, Lorraine M Wilson: Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Jakarta, 2005, EGC


KELAINAN DIDAPAT SALURAN PENCERNAAN PADA ANAK DAN DEWASA


MODUL 2

KELAINAN DIDAPAT SALURAN PENCERNAAN
PADA ANAK DAN DEWASA

SKENARIO 2 : PAK BURUT “BERKANTONG” BESAR
Pak Burut 65 tahun datang ke Puskesmas Padang Pasir Kota Padang dengan pembengkakan pada kantong kemaluan kanan sejak 3 tahun yang lalu. Ketika ditanya oleh dokter puskesmas dia menerangkan bahwa pembengkakan ini dulunya bias hilang ketika dia tidur. Sejak 1 tahun terakhir pembengkakan tersebut menetap. Pak Burut berdomisili di Lunang Pesisir Selatan dan mempunyai tetangga yang sakit seperti ini tetapi sudah dioperasi dengan penyakit Hydrocele, dan tetangga yang satu lagi juga menderita sakit seperti ini, tetapi menurut dokter puskesmas di Silaut sakitnya adalah Elephantiasis. Dokter Puskesmas Padang Pasir mengatakan kepada Pak Burut untuk dikirim ke Rumah Sakit M.Djamil dan nanti akan menjalani tindakan operasi Herniorraphy dan Hernioplasty.
Apa yang terjadi pada Pak Burut dan tetangganya?

I. KLASIFIKASI TERMINOLOGI

Terminologi yang diperoleh adalah
1. Hydrocele, yaitu kumpulan cairan yang berbatas tegas, khususnya kumpulan cairan di dalam tunika vaginalis testis atau sepanjang funikulus spermatikus.
2. Herniorraphy, yaitu perbaikan hernia secara bedah
3. Hernioplasty, yaitu tindakan memperkecil annulus inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.
4. Elephantiasis, yaitu obstruksi kronik pada saluran limfatik dengan hipertrofi kulit dan jaringan subkutan, biasanya mengenai daerah yang tergantung seperti tungkai, lengan, atau genitalia eksterna, merupakan penyakit filarial yang umumnya ditemukan di daerah tropis akibat infeksi saluran limfatik oleh nematode Wuchericia Brancofti, Brugia Malayi atau B.timoti.

II. IDENTIFIKASI MASALAH

Rumusan masalah berdasarkan scenario ini adalah
1. Apakah hubungan usia, jenis kelamin dan tempat tinggal Pak Burut dengan riwayat penyakit sekarang?
2. Mengapa pembengkakan bias hilang saat pak Burut tidur dan mengapa pembengkakan bersifat menetap dalam kurun waktu satu tahun terakhir?
3. Apa diagnosis penyakit Pak Burut berdasarkan manifestasi klinis penyakitnya dan bagaimana cara menegakkan diagnosanya?
4. Mengapa pembengkakan hanya terjadi di kantong kemaluan sebelah kanan dan mengapa tidak terjadi di kantong kemaluan sebelah kiri?
5. Apa hubungan penyakit Pak Burut dengan penyakit tetangga dan apa diagnosis banding lain penyakit Pak Burut?
6. Apa pertimbangan rujukan penyakit Pak Burut untuk dioperasi dan apa terapi pendahuluan yang selayaknya diberikan oleh dokter puskesmas?
7. Bagaimana metode Herniorraphy dan Hernioplasty dan apa penatalaksanaan lain dari penyakit Pak Burut?
8. Apa prognosis penyakit Pak Burut?

III. ANALISA MASALAH

Analisa permasalahan adalah
1. Hubungan usia, jenis kelamin dan tempat tinggal Pak Burut dengan riwayat penyakit sekarang
Usia Pak Burut yang mencapai 65 tahun tergolong lanjut usia, sehingga memiliki banyak kemungkinan untuk multipatologis. Selain itu kemungkinan usia lanjut menyebabkan degenerasi jaringan ikat yang merupakan salah satu patofisiologi penyakit hernia. Tempat tinggal pak Burut di Pesisir Selatan memperkuat diagnosis banding penyakit Pak Burut, yaitu elephantiasis.

2. Alasan pembengkakan bisa hilang saat pak Burut tidur dan pembengkakan bersifat menetap dalam kurun waktu satu tahun terakhir?
Pada 3 tahun lalu penyakit pak Burut didiagnosis Hernia reponibel, dimana saat tidur tekanan intraabdomen berkurang sehingga tidak ada tekanan pada isi hernia, selain itu karena saat tidur terdapat tekanan kea rah abdomen, sehingga isi hernia dipaksa masuk kembali ke dalam cavum abdomen. Pada kurun waktu 1 tahun terakhir, kemungkinan hernia sudah melekat ke peritoneum atau cincin hernia semakin menyempit sehingga menghalangi usaha hernia memasuki cavum abdomen kembali.

3. Diagnosis penyakit Pak Burut berdasarkan manifestasi klinis penyakitnya dan cara menegakkan diagnosanya
Berdasarkan manifestasi klinis, pak Burut didiagnosis menderita penyakit hernia reponibel dan semenjak 1 tahun terakhir berubah menjadi Hernia irreponibel.
Cara menegakkan diagnosisnya adalah
1) Transluminasi.
2) Konsistensi dan batas
3) Adanya peradangan atau tidak.
4) Adanya bising usus atau tidak.
5) Foto rontgen
6) Perabaan

4. Alasan pembengkakan hanya terjadi di kantong kemaluan sebelah kanan dan tidak terjadi di kantong kemaluan sebelah kiri
Kemungkinan prosesus vaginalis sebelah kanan terbuka sedangkan sebelah kiri tidak dan tekanan intra abdomen yang lebih tinggi ke kantong kemaluan sebelah kanan daripada sebelah kiri.

5. Hubungan penyakit Pak Burut dengan penyakit tetangga dan diagnosis banding lain penyakit Pak Burut
Penyakit pak Burut memiliki beberapa kesamaan dengan penyakit tetangga, sehingga penyakit tetangga bisa dijadikan sebagai diagnosis banding dari penyakit pak Burut.

6. Pertimbangan rujukan penyakit Pak Burut untuk dioperasi dan terapi pendahuluan yang selayaknya diberikan oleh dokter puskesmas
Hernia pak Burut memang bukan tergolong dalam kasus kegawatdaruratan, tetapi bisa mengganggu aktivitas dan penampilan Pak burut dan bisa memiliki prognosis yang buruk jika tetap dibiarkan. Berdasarkan alasan itu, dokter puskesmas merujuk pak Burut ke fasilitas kesehatan yang memiliki fasilitas untuk menangani penyakit pak Burut, yaitu RS.M.Djamil.
Terapi pendahuluan yang bisa diberikan dokter puskesmas adalah pemberian antibiotic dan analgesic kepada pak Burut.

7. Metode Herniorraphy dan Hernioplasty dan penatalaksanaan lain dari penyakit Pak Burut
Herniorraphy merupakan penatalaksanaan penyakit hernia dengan teknik operatif. Herniorraphy dilakukan dengan 2 metode yaitu metode herniotomi dan hernioplasty.
Metode Hernioplasty adalah memperkecil annulus inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.

8. Prognosis penyakit Pak Burut
Prognosis penyakit Pak Burut adalah

IV. SISTEMATIKA MASALAH
Sistematika berdasarkan permasalahan scenario adalah

V. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan pembelajaran adalah
Mahasiswa mampu menjelaskan kelainan-kelainan didapat saluran pencernaan pada anak dan dewasa (epidemiologi, etiologi, manifestasi klinik, patologi, patofisiologi, diagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, prognosis, rujukan, diagnosis banding)

VI. MENGUMPULKAN INFORMASI TAMBAHAN

1. Anatomi Dinding Abdomen
Abdomen adalah yaitu bagian batang badan yang terdapat di kaudalis dada dan di bawah dibatasi oleh lig.inguinale & panggul. Rongga yang terdapat di dalam abdomen disebut cavum abdominis.

Alat tractus digestivus yang terdapat dalam cavum abdomen adalah:
1. Gaster.
2. Duodenum.
3. Yeyenum.
4. Ileum.
5. Caecum & appendix vermiformis.
6. Colon Asc.
7. Colon Trans.
8. Colon Desc
9. Colon Signoid

Dinding perut dibentuk oleh Di bentuk oleh :
1. Depan, oleh Otot-otot lurus perut
2. Samping, oleh Otot-otot serong perut.
3. Belakang, oleh m.quadratus lumborum, Otot-otot punggung , Columna vertebralis

Otot-otot lurus perut adalah
1. m.rectus abdominis
2. M.pyranidalis

Otot-otot serong perut adalah
1. m.obligus abdoninis externus (lapisan dinding luar perut)
2. m.obligus abdominis internus. (lapisan tengah dinding perut )
3. m.transversus abdominis (lapisan yang terdalam)

otot-otot dinding belakang perut adalah
1. m.quadratus lumborum.
2. m.psoas mayor.
3. m.psoas minor.

Bidang khayal pada dinding abdomen adalah
1. Bidang Vertikal
a. Bidang Median
b. Bidang Vertikal Lateral (lanjutan dari thorak)

2. Bidang Horizontal
a. Bidang Transpylori.
bidang melalui pertengahan antara pusat dengan junctura xyphosternalis melalui lumbalis I.
b. Bidang Subcostalis
Bidang yang melalui arcus costarum yang terendah kira-kira setinggi bagian bawah cor.vert. LIII.
c. Bidang Umbilicalis
Bidang yang melalui pusat kira 2½ – 3½ Cm. diatas bidang transtubercularis.
d. Bidang Transtubercularis.
Bidang yang melalui crista iliaca tertinggi ki & ka. melalui bagian bawah corpus vert.lumbal V.
e. Bidang Spinosi.

Bidang yang melalui spina iliaca ant. sup. ki-ka.
Regio abdomen adalah
1. Regio ABD Cranialis, yaitu
1) Regia hypochondrica dextra.
2) Regio epigastrica.
3) Regio hypochondrica sinistra.

2. Regio Mesogastrica
1) Regio abd lateralis dextra.
2) Regio umbilicalis
3) Regio abd lateralis sinistra

3. Regio Hypogastrica
1) Regio inguinalis dextra.
2) Regio pubica.
3) Regio inguinalis sinistra.

2. GER (Gastroesophageal Reflux) dan GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)
Refluks gastroesofagus (GER) didefinisikan sebagai kembalinya isi lambung ke esofagus atau lebih proksimal. Isi lambung tersebut bisa berupa asam lambung, udara maupun makanan. RGE ini bisa murni akibat gangguan secara fungsional tanpa adanya kelainan lain. Bisa juga akibat adanya gangguan struktural yang terdapat pada esofagus maupun gaster yang mempengaruhi penutupan sfingter esofagus bawah (SEB), seperti kelainan anatomi kongenital, tumor, komplikasi operasi, tertelan zat korosif dan lain-lain.
GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) didefenisikan sebagai refluks yang meningkat, baik dari frekuensi dan lamanya, jika terjadi regurgitasi bahan-bahan refluks dan kehilangan kalori, atau bahan-bahan refluks merusak mukosa esofagus dan menyebabkan esofagitis.

Tabel Perbedaan gambaran klinis GER dan GERD pada bayi dan anak
GER (Gastroesophageal Reflux) GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)
Regurgitasi dengan BB normal
Gejala dan tanda esofagitis tidak ada

Gejala gangguan pernafasan tidak ada

Gejala gangguan neurologis tidak ada Regurgitasi dengan penurunan BB
Gelisah persisten (persistent irritability) bayi terlihat kesakitan
Sakit dada bawah, sakit menelan, pirosis pada anak
Hematemesis, anemia defisiensi besi.
Apnu, sianosis pada bayi, mengalami Pnemonia aspirasi dan berulang, Batuk kronis, Stridor
Posisi leher menjadi miring

Penyebab terjadinya GER adalah sebagai berikut

1. Tekanan lambung lebih tinggi dari pada tekanan esofagus.
1) Obstruksi
a. Stenosis pilorus
b. Tumor abdomen
c. Makan terlalu banyak

2) Peningkatan peristalsis, karena gastroenteritis
3) Peningkatan tekanan abdomen
a. Obesitas.
b. Memakai pakaian terlalu ketat
c. Pemanjangan waktu pengosongan lambung

2. Tekanan lambung sama dengan tekanan esophagus
1) Gangguan faal, disebabkan saluran esophagus bawah longgar
a. 2.2.2.1.1.1. Chalasia
b. 2.2.2.1.1.2. Adult-ringed esophagus
c. 2.2.2.1.1.3. Obat–obat asma
d. 2.2.2.1.1.4. Merokok
e. 2.2.2.1.1.5. Pemakaian pipa nasogastrik

2) Hiatal hernia
Sebagian isi lambung memasuki rongga dada dan menyebabkan posisi lambung tidak normal.

3. Faktor–faktor lain yang mempengaruhi
1) Penyakit gastrointestinal lain ( penyakit Crohn )
2) Eradikasi Helicobacter pylori
3) Faktor genetik
4) Reaksi respon imun berlebihan
5) Obat–obat yang mempengaruhi asam lambung; NSAIDs, calcium
6) channel blockers, dan lain–lain.

Gejala Klinis
Dengan mengamati gejala klinis yang timbul maka pemeriksaan penunjang untuk diagnose dapat sangat selektif dilakukan pada penderita yang diduga kuat menderita RGE. Beberapa gejala klinis yang timbul pada GER ini adalah sebagai berikut:

1. Manifestasi klinis akibat refluks asam lambung.
1) Sendawa (pirosis)
2) Mual.
3) Muntah
4) Sakit uluhati
5) Sakit menelan
6) Hematemesis melena
7) Striktura
8) Iritabel (bayi)
9) Gangguan pada saluran pernafasan
10) Erosi pada gigi

2. Manifestasi klinis akibat refluks gas (udara)
1) Eructation
2) Cekukan
3) Rasa penuh setelah makan
4) Mudah merasa kenyang
5) Perut sering gembung

3. Manifestasi klinis akibat refluks makanan dan minuman
1) Muntah.
2) Menolak diberi makanan (pada bayi dan anak)
3) Aspirasi ke saluran pernafasan (apnu, SIDS)
4) Anemia
5) Penurunan berat badan
6) Gagal tumbuh
7) Retardasi psikomotor
8) Sandifer syndrome (dimana terjadi hiper-ekstensi leher dan torticolis pada bayi)

Pemeriksaan Penunjang

1. Barium per Oral
Prinsip pemeriksaan adalah melihat refluks bubur barium. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk melihat adanya kelainan struktural dan kelainan anatomis dari esofagus, adanya inflamasi dan esofagitis dengan erosi yang hebat (inflamasi berat). Ketika pemeriksaan ini dilakukan pasien diberi minum bubur barium, baru foto rongen dilakukan. Pada pemeriksaan ini dapat terlihat adanya suatu ulkus, hiatal hernia, erosi maupun kelainan lain.
Tetapi pemeriksaan ini tidak dapat mendeteksi ulkus ataupun erosi yang kecil. Pada pemeriksaan ini bisa terjadi positif semu jika pasien menangis selama pemeriksaan, peningkatan tekanan intraabdomen dan meletakkan kepala lebih rendah dari tubuh. Bisa juga terjadi negatif semu jika bubur barium yang diminum terlampau sedikit. Kelemahan lain, refluks tidak dapat dilihat jika terjadi transient low oesophageal sphincter relaxation (TLSOR).

2. Manometri Esophagus
Manometri merupakan suatu teknik untuk mengukur tekanan otot. Caranya adalah dengan memasukkan sejenis kateter yang berisi sejenis transduser tekanan untuk mengukur tekanan. Kateter ini dimasukkan melalui hidung setelah pasien menelan air sebanyak 5 ml. Ukuran kateter ini kurang lebih sama dengan ukuran pipa naso-gastrik. Kateter ini dimasukkan sampai transduser tekanan berada di lambung. Pengukuran dilakukan pada saat pasien meneguk air sebanyak 10–15 kali. Tekanan otot spingter pada waktu istirahat juga bisa diukur dengan cara menarik kateter melalui spingter sewaktu pasien disuruh melakukan gerakan menelan. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui baik tidaknya fungsi esofagus ataupun SEB dengan berbagai tingkat berat ringannya kelainan.

3. Pemantauan pH Esophagus
Pemantauan pH esofagus dilakukan selama 24 jam. Uji ini merupakan cara yang paling akurat untuk menentukan waktu kejadian asidifikasi esofagus serta frekuensi dan lamanya refluks. Prinsip pemeriksaan adalah untuk mendeteksi perubahan pH di bagian distal esofagus akibat refluks dari lambung. Uji memakai suatu elektroda mikro melalui hidung dimasukkan ke bagian bawah esofagus. Elektroda tersebut dihubungkan dengan monitor komputer yang mampu mencatat segala perubahan pH dan kemudian secara otomatis tercatat. Biasanya yang dicatat episode refluks yang terjadi jika terdeteksi pH 18 bulan, dengan hiatus hernia yang besar.

5) Anak dengan gangguan neurologis yang tidak respon dengan obat- obatan

3. Hernia
1. Pengertian
Berasal dari bahasa Latin, herniae, yaitu menonjolnya isi suatu rongga melalui jaringan ikat tipis yang lemah pada dinding rongga. Dinding rongga yang lemah itu membentuk suatu kantong dengan pintu berupa cincin. Gangguan ini sering terjadi di daerah perut dengan isi yang keluar berupa bagian dari usus.

2. Bagian-bagian Hernia
Bagian-bagian hernia adalah

1) Kantong hernia: pada hernia abdominalis berupa peritoneum parietalis

2) Isi hernia: berupa organ atau jaringan yang keluar melalui kantong hernia. Pada hernia abdominalis berupa usus
3) Locus Minoris Resistence (LMR)
4) Cincin hernia: Merupakan bagian locus minoris resistence yang dilalui kantong hernia
5) Leher hernia: Bagian tersempit kantong hernia yang sesuai dengan kantong hernia.

3. Klasifikasi Hernia
1) Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas :
a. hernia bawaan (kongenital)
b. hernia yang didapat (akuisita)

2) Berdasarkan letaknya, hernia dibagi menjadi
a. Hernia interna
b. Hernia eksterna

3) Berdasarkan sifatnya, hernia dibagi menjadi
a. Hernia reponible, yaitu terjadi jika isi hernia dapat keluar masuk, isi hernia keluar biasanya pada saat berdiri atau mengedan (aktifitas) dan masuk pada saat tiduran (istirahat) , hernia jenis ini biasanya tanpa keluhan.
b. Hernia irreponible, yaitu terjadi jika isi hernia tidak dapat keluar masuk karena sudah ada perlekatan antara isi hernia dengan kantongnya, hernia jenis ini biasanya tanpa keluhan nyeri maupun gangguan pasase usus.
c. Hernia inkaserata, yaitu terjadi jika isi hernia tidak dapat keluar masuk kerena adanya jepitan isi hernia oleh cincin hernia sehingga timbul gejala gangguan pasase usus seperti mual, muntah, kembung, tidak dapat BAB, tidak dapat flatus.
d. Hernia strangulata, yaitu terjadi jika isi hernia megalami jepitan oleh cincin hernia sehingga timbul gejala gangguan pasase (obstruksi) dan gangguan vaskularisasi. Gangguan pasase dapat berupa mual, muntah, kembung, tidak dapat BAB, tidak dapat flatus dan gangguan vaskularisasi dapat berupa nyeri yang menyerupai cholik yang lama kelamaan bisa menetap dan dapat diikuti dengan nekrosis daerah yang mengalami jepitan bahkan dapat terjadi perforasi. Bila hernia strangulata hanya menjepit sebagian dinding usus biasanya disebut hernia Richter.

4. Factor Predisposisi
Hal-hal yang mempermudah terjadinya suatu hernia antara lain :
1) Riwayat batuk lama : TBC paru
2) Pekerja pengangkat beban berat
3) Trauma
4) Konstipasi lama
5) Usia tua
6) Hipertrofi prostat
7) Iatrogenik
8) Obesitas
9) Kebiasaan mengejan saat BAB

5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hernia dapat dilakukan dalam beberapa tindakan, antara lain:
1) Konservatif
Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan pemakaian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang telah direposisi.
2) Operatif
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis yang rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Prinsip dasar operasi hernia adalah hernioraphy, yang terdiri dari herniotomi dan hernioplasti.
a. Herniotomi
Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya. Kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian direposisi, kantong hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu dipotong.

b. Hernioplasti
Pada hernioplasti dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplasti lebih penting artinya dalam mencegah terjadinya residif dibandingkan dengan herniotomi. Dikenal berbagai metode hernioplasti seperti memperkecil anulus inguinalis internus dengan jahitan terputus, menutup dan memperkuat fasia transversa, dan menjahitkan pertemuan m. tranversus internus abdominis dan m. oblikus internus abdominis yang dikenal dengan nama conjoint tendon ke ligamentum inguinale poupart menurut metode Bassini, atau menjahitkan fasia tranversa m. transversus abdominis, m.oblikus internus abdominis ke ligamentum cooper pada metode Mc Vay. Bila defek cukup besar atau terjadi residif berulang diperlukan pemakaian bahan sintesis seperti mersilene, prolene mesh atau marleks untuk menutup defek.

6. Pencegahan
Kelainan kongenital yang menyebabkan hernia memang tidak dapat dicegah, namun langkah-langkah berikut ini dapat mengurangi tekanan pada otot-otot dan jaringan abdomen:
1) Menjaga berat badan ideal. Jika anda merasa kelebihan berat badan, konsultasikan dengan dokter mengenai program latihan dan diet yang sesuai.
2) Konsumsi makanan berserat tinggi. Buah-buahan segar, sayur-sayuran dan gandum baik untuk kesehatan. Makanan-makanan tersebut kaya akan serat yang dapat mencegah konstipasi.
3) Mengangkat benda berat dengan hati-hati atau menghindari dari mengangkat benda berat. Jika harus mengangkat benda berat, biasakan untuk selalu menekuk lutut dan jangan membungkuk dengan bertumpu pada pinggang.
4) Berhenti merokok. Selain meningkatkan resiko terhadap penyakit-penyakit serius seperti kanker dan penyakit jantung, merokok seringkali menyebabkan batuk kronik yang dapat menyebabkan hernia inguinalis.

4. Invaginasi
1) Defenisi
Intususepsi atau invaginasi adalah suatu keadaan masuknya segmen usus ke segmen bagian distalnya yang umumnya akan berakhir dengan obstruksi usus strangulasi (Mansjoer. R. 2000)

2) Epidemiologi
Intususepsi lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan (Mansjoer. R. 2000). Angka kejadian pada anak laki-laki 3 kali lebih besar bila dibandingkan anak perempuan (kidshealth. org, 2001). Seiring dengan pertambahan umur, perbedaan kelamin menjadi bermakna. Pada anak usia lebih dari 4 tahun, rasio insidensi anak laki-laki dengan anak perempuan adalah 8 : 1. (emedicine, 2001)

3) Etiologi
Pada bayi lebih dari 3 tahun, bisa disebabkan faktor mekanik, seperti :
a. Meckel diverticulum
b. Polip pada untestinum
c. Lymposarcoma intestinum
d. Trauma tumpul pada abdominal dengan hematom
e. Hemangioma emedicine.com, 2003).
Selain itu beberapa penelitian menunjukkan peranan rotavirus pada penyebab invaginasi.

4) Gejala Klinis
Gejala yang tampak adalah nyeri perut yang hebat, mendadak dan hilang timbul dalam waktu beberapa detik hingga menit dengan interval waktu 5-15 menit. Diluar serangan, anak tampak sehat. (www.pediatrik.com, 2003). Bayi dengan intususepsi akan mengalami nyeri abdomen yang sangat mendadak sehingga mereka menangis dengan sangat kesakitan dan keras. Bayi tersebut akan menarik lututnya ke dada. kidshealth.org, 2001)
Anak sering muntah dan dalam feses sering ditemukan darah dan lendir. Secara bertahap anak akan pucat dan lemas, bisa menjadi dehidrasi, merasa demam, dan perut mengembung. (www.gosh, 2002).Selain itu, ada gejala-gejala seperi anak menjadi cepat marah, nafas dangkal, mendengkur, konstipasi kidshealth.org, 2001).

5) Diagnosis
Anamnesa dengan keluarga dapat diketahui gejala-gejala yang timbul dari riwayat pasien sebelum timbulnya gejala, misalnya sebelum sakit, anak ada riwayat dipijat, diberi makanan padat padahal umur anak dibawah 4 bulan. kidshealth.org, 2001).Pemeriksaan fisik, pada palipasi diperoleh abdomen yang mengencang, massa seperti sosis kidshealth.org, 2001).
Pemeriksaan penunjang dilakukan X-ray abdomen untuk melihat obstruksi kidshealth.org.2001).Pemeriksaan ultrasound bisa melihat kondisi secara umum dengan menggunakan gelombang untuk melihat gambaran usus di layar monitor (www.gosh, 2002).

6) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan invaginasi adalah
a. Terapi cairan intravena
b. Pemasangan nasogastrik tube
c. Barium enema untuk reduksi invaginasi
d. Operasi, jika tindakan dengan barium enema tidak berhasil

7) Komplikasi
Jika invaginasi terlambat atau tidak diterapi, bisa timbul beberapa komplikasi berat, seperti kematian jaringan usus, perforasi usus, infeksi dan kematian kidshealth.org, 2001).

8) Prognosis
Invaginasi dengan terapi sedini mungkin memiliki prognosis yang baik. Terdapat resiko untuk kambuh lagi familidoctor.org, 2003)

9) Differensial diagnosis
Differensial diagnosis pada invaginasi adalah
a. Trauma Abdomen
b. Appendisitis Akut
c. Hernia
d. Gastroenteritis
e. Torsi testis
f. Perlengketan jaringan
g. Volvulus
h. Meckel diverticulum
i. Perdarahan G 1
j. Proses-proses yang menumbuhkan nyeri abdomen emedicine.com, 2003).

5. Hemorrhoid
1. Defenisi
Hemorrhoid adalah dilatasi varikosus vena dari pleksus hemoroidalis inf/sup.

2. Etiologi
Etiologi hemorrhoid adalah
a. Obstruksi vena
b. Prolaps bantalan anus
c. Keturunan
d. Diet dan geografis
e. Kebiasaan defekasi
f. Tonus sfingter anus

3. Gejala klinis
Gejala klinis hemorrhoid adalah
a. Perdarahan melalui anus
b. Prolaps atau benjolan anus
c. Nyeri dan rasa tidak aman
d. Secret, pruritus dan hygiene kurang

4. Komplikasi
Komplikasi yang muncul adalah
a. Trombosis dan infeksi bantalan vaskuler interna
b. Edema
c. Trombosis vaskuler ekterna
d. Anemia
e. Dermatitis perianal

5. Diagnosis
Diagnose hemorrhoid ditegakkan dengan diagnose
a. Anamnesa
b. Pemeriksaan fisik
c. Inspeksi perianal
d. Palpasi
e. Anuskopi
f. Sigmoidoskopi

6. Klasifikasi
Klasifikasi hemorrhoid adalah
a. Stadium I
Pada stadium I terjadi perdarahan, tetapi tidak terjadi prolaps
b. Stadium II
Pada stadium II, terdapat bantalan prolaps seperti dibawah L.Dentata saat mengedan dan hilang spontan, selain itu terdapat secret dan pruritus
c. Stadium III
Pada stadium III, terdapat bantalan anus yang keluar saat mengedan dan tetap diluar sampai direposisi manual, selain itu biasanya terdapat kotoran dalam pakaian dalam.
d. Stadium IV
Pada stadium IV, terdapat nyeri, prolaps tidak dapat direposisi secara manual, dan terdapat bantalan interna yang ditutupi mukosa.

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hemorrhoid ini adalah
a. Pencegahan
Usaha yang dapat dilakukan adalah
1) Memberikan nasehat
2) menghindari konstipasi kronik
3) mengkonsumsi makanan berserat tinggi
4) menghindari makanan yang pedas
5) menggunakan toilet jongkok

b. Medikamentosa
Obat yang digunakan adalah Obat simtomatik nyeri ,gatal ,salep antiseptik,analgetik, vasokonstriktor.

c. Tindakan invasiv
Tindakan invasive yang dapat dilakukan adalah
1) Skleroterapi
2) Rubber Band Ligation
3) Cryotheraphy atau cryosurgery
4) Coagulation infra red
5) Bipolar diathermy
6) Tindakan operasi

6. Perdarahan Saluran Pencernaan
1) Defenisi
Perdarahan bisa terjadi dimana saja di sepanjang saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Bisa berupa ditemukannya darah dalam tinja atau muntah darah,tetapi gejala bisa juga tersembunyi dan hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan tertentu.

2) Etiologi
Penyebab perdarahan pada saluran pencernaan :
a. Kerangkongan, di antaranya disebabkan oleh:
a) Robekan jaringan
b) Kanker

b. Lambung, di antaranya disebabkan oleh:
a) Luka kanker atau non-kanker
b) Iritasi (gastritis) karena aspirin atau Helicobacter pylori

c. Usus halus, di antaranya disebabkan oleh:
a) Luka usus dua belas jari non-kanker
b) Tumor ganas atau jinak

d. Usus besar, di antaranya disebabkan oleh:
a) Kanker
b) Polip non-kanker
Penyakit peradangan usus (penyakit Crohn atau kolitis ulserativa)
c) Penyakit divertikulum
d) Pembuluh darah abnormal di dinding usus (angiodisplasia)

e. Rektum, di antaranya disebabkan oleh:
a) Kanker
b) Polip non-kanker
c) Anus, di antaranya disebabkan oleh:
• Hemoroid
• Robekan di anus (fisura anus)

3) Manifestasi Klinik
Gejalanya bisa berupa:
1. muntah darah (hematemesis)
2. mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena)
3. mengeluarkan darah dari rektum (hematoskezia)
Tinja yang kehitaman biasanya merupakan akibat dari perdarahan di saluran pencernaan bagian atas, misalnya lambung atau usus dua belas jari. Warna hitam terjadi karena darah tercemar oleh asam lambung dan oleh pencernaan kuman selama beberapa jam sebelum keluar dari tubuh. Sekitar 200 gram darah dapat menghasilkan tinja yang berwarna kehitaman.
Penderita dengan perdarahan jangka panjang, bisa menunjukkan gejala-gejala anemia, seperti mudah lelah, terlihat pucat, nyeri dada dan pusing. Jika terdapat gejala-gejala tersebut, dokter bisa mengetahui adanya penurunan abnormal tekanan darah, pada saat penderita berdiri setelah sebelumnya berbaring.
Gejala yang menunjukan adanya kehilangan darah yang serius adalah denyut nadi yang cepat, tekanan darah rendah dan berkurangnya pembentukan air kemih. Tangan dan kaki penderita juga akan teraba dingin dan basah. Berkurangnya aliran darah ke otak karena kehilangan darah, bisa menyebabkan bingung, disorientasi, rasa mengantuk dan bahkan syok.
Gejala kehilangan darah yang serius bisa berbeda-beda, tergantung pada apakah penderita memiliki penyakit tertentu lainnya. Penderita dengan penyakit arteri koroner bisa tiba-tiba mengalami angina (nyeri dada) atau gejala-gejala dari suatu serangan jantung. Pada penderita perdarahan saluran pencernaan yang serius, gejala dari penyakit lainnya, seperti gagal jantung, tekanan darah tinggi, penyakit paru-paru dan gagal ginjal, bisa bertmbah buruk. Pada penderita penyakit hati, perdarahan ke dalam usus bisa menyebabkan pembentukan racun yang akan menimbulkan gejala seperti perubahan kepribadian, perubahan kesiagaan dan perubahan kemampuan mental (ensefalopati hepatik).

4) Diagnosa
Pemeriksaan ditujukan untuk menemukan sumber perdarahan. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
a. Endoskopi
b. Biopsy
c. Rontgen dengan menggunakan barium enema
d. angiografi

5) Penatalaksanaan
Pada lebih dari 80% penderita, tubuh akan berusaha menghentikan perdarahan. Penderita yang terus menerus mengalami perdarahan atau yang memiliki gejala kehilangan darah yang jelas, seringkali harus dirawat di rumah sakit dan biasanya dirawat di unit perawatan intensif.
Bila darah hilang dalam jumlah besar, mungkin dibutuhkan transfusi. Untuk menghindari kelebihan cairan dalam pembuluh darah, biasanya lebih sering diberikan transfusi sel darah merah (PRC/Packed Red Cell) daripada transfusi darah utuh (whole blood). Setelah volume darah kembali normal, penderita dipantau secara ketat untuk mencari tanda-tanda perdarahan yang berlanjut, seperti peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah atau kehilangan darah melalui mulut atau anus.
Perdarahan dari vena varikosa pada kerongkongan bagian bawah dapat diobati dengan beberapa cara. Diantaranya dengan memasukkan balon kateter melalui mulut ke dalam kerongkongan dan mengembangkan balon tersebut untuk menekan daerah yang berdarah. Cara lain ialah dengan menyuntikan bahan iritatif ke dalam pembuluh yang mengalami perdarahan, sehingga terjadi peradangan dan pembentukan jaringan parut pada pembuluh balik (vena) tersebut.
Perdarahan pada lambung sering dapat dihentikan melalui endoskopi. Dilakukan kauterisasi pembuluh yang mengalami perdarahan dengan arus listrik atau penyuntikan bahan yang menyebabkan penggumpalan di dalam pembuluh darah. Bila cara ini gagal, mungkin perlu dilakukan pembedahan.
Perdarahan pada usus bagian bawah biasanya tidak memerlukan penanganan darurat. Tetapi bila diperlukan, bisa dilakukan prosedur endoskopi atau pembedahan perut. Kadang-kadang lokasi perdarahan tidak dapat ditentukan dengan tepat, sehingga sebagian dari usus mungkin perlu diangkat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland. Kamus Kedokteran. EGC: Jakarta. 2002.
2. Supriatmo.2003. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gejala Refluks Gastroesofagus Pada Anak Usia Sekolah Dasar. http://www.USU.ac.id.
Diunduh pada tanggal 28 September 2009.
3. Sri Mayarni Sutadi.2003. Pola Keganasan Saluran Cerna Bagian Atas dan Bawah secara Endoskopi di H.Adam Malik – Medan. http://www.USU.ac.id.
Diunduh pada tanggal 28 September 2009.
4. Prof. DR. dr. Yanwirasti. Slide kuliah pengantar: Abdomen
5. Dr. H. Asri Zahari, Sp.BD (K). Slide kuliah pengantar: Diagnosis dan penatalaksanaan Hemorrhoid


Gempa 30 S 2009


SEBUAH CATATAN HARIAN

GEMPA RANAH MINANG 30 SEPTEMBER 2009

Oleh

Rhudy Marseno*

Tepat pada pukul 17.16 WIB, gempa berkekuatan 7,6 SR menghentak bumi Sumatera Barat dan sekitarnya selama kurang lebih 1 menit. Menurut beberapa informasi, getaran gempa juga dapat dirasakan di Malaysia, Singapura, dan orang-orang yang berada di gedung bertingkat di Kota Jakarta. Gempa yang berpusat di 22 Km Barat Daya Pariaman  (0,72 LS-99,94 BT) dengan kedalaman 80 km menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) ini telah meluluhlantakkan tatanan kehidupan di dua daerah yang paling dekat dengan episentrum gempa, yaitu kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Di dua tempat tersebut, sebagian besar rumah mengalami retakan yang cukup parah dan tak sedikit yang rata dengan tanah, sehingga hanya menyisakan puing-puing bagi pemiliknya. Jalan-jalan juga mngalami retakan dan terdapat celah yang cukup dalam, sehingga banyak yang tidak bisa lagi dilalui oleh kendaraan bermotor, terutama kendaraan roda empat. Penduduk yang berada dekat dengan garis pantai segera berlarian menyelamatkan diri karena merebaknya isu tsunami yang segera akan menghantam Kota Padang dan sekitarnya beberapa menit setelah kejadian gempa.

Suasana kota semakin mencekam dengan teriakan-teriakan dari orang-orang yang belum menemukan sanak saudaranya yang terpisah saat menyelamatkan diri atau karena masih terjebak di dalam puing-puing reruntuhan bangunan. Belum lagi kepanikan yang melanda warga karena langit-langit kota penuh ditutupi dengan asap yang membubul dari bangunan-bangunan yang terbakar akibat hubungan arus pendek listrik saat gempa melanda. Hampir semua fasilitas kota lumpuh akibat gempa, sambungan listrik di semua penjuru kota sengaja dipadamkan untuk mencegah kebakaran meluas dan air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) tidak mengalir karena pipa-pipa air banyak yang rusak akibat gempa. Riuh alarm dari mobil ambulan berseliweran yang sibuk mengevakuasi korban gempa, mobil pemadam kebakaran yang berusaha memadamkan kebakaran yang terjadi hampir di setiap sudut kota dan mobil kepolisian yang berusaha menstabilkan situasi  ikut menambah kepanikan warga kota yang sebelumnya tidak pernah membayangkan bencana seperti ini melanda sehingga kelengahan mereka berakibat fatal.

Pada saat yang bersamaan, sekumpulan mahasiswa berseragam dan menggunakan scraft merah sebagai tanda pengenal mereka tengah bersiaga mempersiapkan segala bantuan yang bisa mereka berikan sebagai Tim Bantuan Medis kepada para korban bencana gempa. Sekumpulan mahasiswa ini menamakan diri mereka Hippocrates Emergency Team (HET).

***

Saat ini saya tercatat sebagai mahasiswa tahun ketiga di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Jurusan Pendidikan Dokter. Sebagai mahasiswa, saya disibukkan dengan rutinitas perkuliahan setiap harinya, membaca puluhan lembar buku-buku kuliah yang rata-rata memiliki ketebalan cukup tinggi, jurnal-jurnal ilmiah dalam berbagai judul, dan tentu saja kegiatan-kegiatan harfiah sebagai manuasia. Seperti sebagian besar mahasiswa pada umumnya, rutinitas saya tidak hanya monoton pada kegiatan akademik saja, tapi juga disibukkan dengan kesibukan sebagai aktivis sebuah organisasi kemahasiswaan. Tapi ada yang unik dengan organisasi kemahasiswaan yang telah saya pilih sebagai rumah kedua bagi saya ini. Organisasi ini mungkin bukanlah organisasi yang dipilih oleh sebagian besar mahasiswa Pendidikan Dokter yang selalu diidentikkan sebagai kutu buku yang selalu dihadapkan dengan tumpukan buku setiap harinya. Salah satu penyebabnya mungkin disebabkan karena sebagian kegiatan organisasi ini tidak lazim bagi mereka.

Organisasi saya ini bernama Hippocrates Emergency Team, selanjutnya disingkat dengan HET, sebuah organisasi yang bergerak sebagai Tim Bantuan Medis (TBM). Jika dilihat dari nama dan artinya, mungkin pembaca semuanya bisa membayangkan seperti apa organisasi ini dan apa saja kegiatan-kegiatannya. Secara garis besar, kegiatan HET terbagi atas 3 bagian yaitu kegiatan medis, kegiatan Alam terbuka dan kegiatan pengabdian masyarakat.. Pada kegiatan medis, anggota HET diajar dan dilatih berbagai ilmu medis terutama yang berkaitan dengan kasus kegawatdaruratan medis pra Rumah Sakit di lapangan, ilmu ini sangat dibutuhkan anggota HET saat bertugas sebagai TBM dalam menangani korban-korban di daerah bencana yang sulit mencapai akses fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit. Pada kegiatan alam terbuka, anggota HET diajar dan dilatih berbagai keterampilan alam terbuka seperti teknik survival, rappelling mountaineering dan teknik evakuasi yang menunjang kinerja anggota HET sebagai TBM di daerah bencana yang memiliki medan alam yang cukup sulit. Pada kegiatan pengabdian masyarakat, anggota HET diajari dan dilatih berbagai ilmu dan keterampilan mengangkatkan suatu kegiatan pengabdian seperti pengobatan yang dibutuhkan anggota HET saat bertugas sebagai TBM dalam rehabilitasi daerah bencana. Walaupun ketiga kelompok kegiatan ini cukup bertolak belakang jika diperhatikan sepintas, tetapi ketiganya memiliki orientasi yang sama, yaitu mendukung kinerja anggota HET sebagai Tim Bantuan Medis.

Melalui tulisan ini, saya akan mengulas pengalaman pribadi saya beserta anggota HET lainnya saat ditugaskan sebagai TBM bencana gempa Sumatera Barat pada tanggal 30 September 2009. Melalui tulisan ini, pembaca bisa memetik pelajaran bagaimana kedisiplinan, loyalitas dan dedikasi akan tugas dan tanggung jawab bisa mengalahkan egoisme individual bahkan pada situasi yang tidak menguntungkan sekalipun. Selain itu, pembaca juga bisa menyaksikan bahwa untuk membuat suatu pekerjaan menghasilkan hasil yang maksimal tidak hanya dibutuhkan satu keahlian atau keterampilan saja, tetapi juga dibutuhkan berbagai keahlian sekalipun keahlian itu bertolak belakang dengan keahlian yang kita miliki saat ini.

***

Rabu, 30 September 2009, pukul 16.15 WIB. Sore itu adalah sore yang cerah dan tenang, sama seperti sore-sore sebelumnya. Di jalan-jalan kota, tampak kendaraan memadati arus lalu-lintas, beberapa pusat perbelanjaan dipadati calon pembeli, dan pusat-pusat hiburan dipadati para pengunjung. Keadaan seperti ini tidak mengherankan karena pada waktu ini adalah jam pulang kantor bagi sebagian pegawai. Banyak warga yang sibuk membeli beberapa keperluan untuk mempersiapkan makan malam keluarga, dan sebagian lagi melepas kepenatan atau sekedar melakukan hobi di beberapa pusat hiburan, pantai Kota Padang salah satu primadonanya.

Di sudut kota yang lain, tepatnya di kampus Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, saya dan teman-teman yang tergabung dalam Hippocrates Emergency Team (HET) sedang berkumpul di kantor Sekretariat HET mengikuti rapat technical meeting untuk wawancara open recruitment anggota baru, semacam rapat persiapan penerimaan anggota baru untuk regenerasi organisasi. Hampir seluruh anggota aktif* hadir pada rapat tersebut. Rapat ditutup pada pukul 17.10 WIB dan dilanjutkan dengan evaluasi anggota Biasa.

Sekitar enam menit berselang setelah rapat ditutup, yaitu sekitar pukul 17.16 WIB, saya merasakan getaran pada tanah yang saya injak. Sejurus kemudian saya menangkap gambaran gedung kampus dan beberapa tiang listrik yang berada di sekitar saya berdiri ikut bergoyang. Kemudian beberapa orang teman berteriak bahwa gempa sedang terjadi. Beberapa detik saya berusaha mencerna kata-kata mereka sebelum saya menyadari bahwa pada saat itu gempa bumi memang sedang terjadi.

Pada awalnya, saya dan teman-teman hanya berdiri diam menyaksikan gempa itu terjadi tanpa melakukan sesuatu hal yang berarti. Hal ini bukan disebabkan karena kami tidak tahu harus berbuat apa, tetapi kami berpikir bahwa belum perlu saatnya untuk berbuat sesuatu. Pikiran ini tidaklah terlalu mengherankan karena saat awal terjadi gempa, kekuatan getaran masih bisa dibilang kecil dan sebagai warga kota Padang, saya dan teman-teman sudah terbiasa dengan hal ini. Sekedar informasi, gempa dengan getaran kecil atau getaran besar tapi tidak bersifat destruktif sering melanda Kota Padang dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Sebagai contoh, dua tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2007, Kota Padang diguncang gempa bumi yang berskala cukup besar, tetapi tidak menimbulkan efek yang signifikan terhadap infrastruktur kota.

Namun, setelah beberapa detik gempa bumi berlangsung, getaran yang pada awalnya lemah berubah menjadi semakin kuat. Gempa yang pada awalnya hanya menggetarkan gedung-gedung kampus di hadapan saya berubah menjadi menghentak kuat, sehingga mulai muncul retakan besar dan beberapa material gedung mulai berjatuhan. Saya yang pada awalnya mampu berpijak dengan mantap sekarang sudah mulai kehilangan keseimbangan. Kendaraan bermotor roda dua yang banyak terparkir di depan Kantor Sekretariat HET mulai berjatuhan. Mulai saat itu, saya dan teman-teman anggota HET mulai mencium masalah besar  sedang terjadi.

Kepanikan di halaman kampus mulai pecah. Beberapa orang mahasiswa dan dosen yang masih berada di dalam gedung mulai berlarian keluar gedung dan berkumpul di halaman kampus, sedangkan beberapa orang lainnya sibuk menghubungi keluarga dan sanak saudara lainnya untuk sekedar menanyakan kondisi mereka. Seperti masyarakat umum lainnya, tidak ada sesuatu hal terlalu berarti yang dapat mereka lakukan. Ketakutan dan kepasrahan jelas terlihat dari rawut wajah mereka saat itu.

Kondisi yang jauh berbeda terjadi di sekitar kantor Sekretariat HET. Teman-teman anggota HET segera melakukan serangkaian langkah penyelamatan yang bertujuan agar efek yang ditimbulkan akibat gempa tidak terlalu meluas. Beberapa menit berikutnya, Koordinator SATGAS* langsung menyiagakan seluruh anggota HET. Dengan berbekal belasan pendidikan kegawatdaruratan yang pernah diikutinya, coordinator SATGAS tampaknya sudah mengerti betul apa yang harus diperbuatnya saat itu. Mempersiapkan anggota menjadi TBM dalam waktu yang singkat merupakan pilihan utama. Serangkaian kegiatan dilakukan untuk merealisasikannya, salah satunya menyiagakan seluruh anggota.

Di dalam siaga bencana tersebut, seluruh anggota HET, terutama anggota aktif, diinstruksikan untuk mempersiapkan seluruh keperluan yang diperlukan sebagai TBM dalam waktu hanya 10 menit. Mempersiapkan seluruh keperluan yang dibutuhkan dalam waktu 10 menit bagi sebagian orang mungkin terdengar mustahil. Anggapan itu cukup beralasan karena sebagian rumah tinggal atau rumah kontrakan mayoritas anggota HET juga tak luput dari hentakan gempa. Pengalaman ini saya alami sendiri. Saat orang lain sibuk menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman dan mengevakuasi barang-barang berharga mereka dari rumah yang telah hancur, kami justru harus mempersiapkan barang-barang yang kami butuhkan saat ditugaskan menjadi TBM nanti dalam waktu yang relative singkat. Kami tidak bisa bermain dengan waktu, karena satu detik saja waktu terbuang sama dengan beberapa nyawa melayang menanti pertolongan kami. Loyalitas, tanggung jawab dan kedisiplinan sangat diuji dalam pengorbanan ini. Namun, fakta membuktikan, mayoritas anggota HET mampu lulus dengan hasil yang sangat memuaskan dalam ujian ini. Tidak ada yang terlalu mengherankan. Dalam setiap rangkaian pendidikan yang kami tempuh selama ini di HET, kami telah ditempa untuk terbiasa dengan kondisi ini, bahkan mungkin dalam kondisi yang lebih sulit sekalipun. Sekali lagi, pengorbanan besar membuahkan hasil.


water birth


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Water birth merupakan salah satu metode alternatif persalinan pervaginam, dimana ibu hamil tanpa komplikasi bersalin dengan jalan berendam di dalam air hangat dengan tujuan mengurangi rasa nyeri kontraksi dan memberi sensasi rasa nyaman (Bayuningrat, 2008).

Semenjak water birth mulai diperkenalkan secara luas pada tahun 1991 sebagai bagian dari konsep melahirkan cara baru yang terdiri dari managemen kelahiran dengan pemantauan yang teliti dan membatasi penggunaan metode invasif (http://www.public.iastate.edu/~chart/JournalAbstractsForBirting.html), banyak orang percaya metode ini lebih aman dan memberikan banyak manfaat bagi ibu maupun bayi. Kelahiran yang merupakan pengalaman yang berat bagi setiap bayi dapat diminimalisasi dengan metode water birth. Air yang hangatnya telah disesuaikan dapat membantu memudahkan transisi bayi dari dalam kandungan ke dunia luar,   karena kehangatan dan air, kelembutan cahaya, warna dan suaranya sesuai dengan lingkungan di dalam rahim (Bobby, 2008). Sedangkan manfaat melahirkan di air bagi ibu antara lain ibu akan merasa lebih relaks, sehingga nyeri selama persalinan tidak terlalu dirasakan,  karena semua otot yang berkaitan dengan proses persalinan menjadi elastis dan juga dapat mengurangi robekan dan rasa sakit pada perineum. Hal ini membuat kebutuhan terhadap obat-obatan lebih sedikit atau sama sekali tidak dibutuhkan. Energi yang dibutuhkan juga lebih sedikit dan kecemasan yang terjadi selama persalinan berkurang (Indriani, 2008).

Namun, masih banyak kritik yang mengatakan bahwa prosedur ini memberikan risiko ke bayi dan ibu. Tetapi, penelitian tentang kekurangan ataupun kontroversi water birth ini masih sangat minim, meskipun ada, sebagian besar masih berupa spekulasi, mungkin hal ini disesabkan karena metode ini masih tergolong sangat baru.

Contohnya, berdasarkan data dari jurnal AAP (American Academic of Pediatrics) tahun 2002, ditemukan beberapa kasus yang terjadi terhadap beberapa orang bayi yang dilahirkan melalui metode water birth di rumah sakit National Women’s Hospital, New Zealand, di antaranya adalah mengalami gagal nafas 5jam pasca lahir, mengalami takipnea 6jam pasca lahir, mengalami gagal nafas 5menit pasca lahir, yang didiagnosis karena aspirasi air, dan mengalami gagal nafas 10menit pasca lahir.

Selain itu, dalam Journal of Microbiology yang dirilis tahun 2003 mengatakan bahwa ditemukan satu kasus kematian bayi mendadak (Neonatal Sudden Death) akibat Legionella pneumonia pada water birth.

Di dalam COCHRANE(Pegangan Peneliti Kedokteran seluruh dunia yang telah direvisi tahun 2007), dikatakan bahwa “Further research is needed to assess the effect of immersion in water of neonatal and maternity morbidity” ( dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menilai efek pembenaman di dalam air terhadap neonatal dan kesakitan ibu).

Atas dasar pemikiran inilah penulis mengajukan usulan penelitian mengenai pengaruh water birth terhadap sistem pernapasan neonatus.

Penelitian ini dilaksanakan di Sam Marie Hospital Jakarta dan Rumah Sakit Ibu dan Anak Budhi Jaya Jakarta.

Pemilihan tempat penelitian di kedua tempat didasarkan pada data statistik dimana sebagian besar jumlah kelahiran metode water birth di Indonesia terdapat di kedua rumah sakit ini.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut, yaitu “Bagaimana pengaruh water birth terhadap perkembangan sistem pernapasan pada neonatus?”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh water birth terhadap perkembangan sistem pernapasan pada neonatus.

1.3.2 Tujuan Khusus

1)      Untuk mengetahui risiko gangguan sistem pernapasan yang timbul pada neonatus yang dilahirkan melalui water birth

2)      Untuk membandingkan risiko gangguan sistem pernapasan neonatus lahir normal dengan lahir melalui water birth

1.4 Manfaat Penelitian

1)      Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efektivitas water birth, khususnya dampak positif, dampak negatif dan kontra indikasi terhadap kesehatan ibu dan bayi

2)      Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam mengevaluasi metode water birth

3)      Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan penulis dalam menulis karya ilmiah

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Water Birth

Water birth merupakan salah satu metode persalinan pervaginam, dimana ibu hamil tanpa komplikasi bersalin dengan jalan berendam dalam air hangat (yang dilakukan pada bathtub atau kolam) dengan tujuan mengurangi rasa nyeri kontraksi dan memberi sensasi rasa nyaman (Bayuningrat, 2008).

Dalam pelaksanaannya, metode persalinan waterbirth ini terbagi 2, yaitu

1)      Water birth murni, yaitu metode persalinan water birth dimana ibu masuk ke kolam persalinan setelah mengalami pembukaan 6 sampai proses melahirkan terjadi.

2)      Water birth emulsion, yaitu metode persalinan water birth dimana ibu hanya berada di dalam kolam hingga masa kontraksi akhir. Proses melahirkan tetap dilakukan di tempat tidur.

Selama proses persalinan dengan melalui metode water birth, diperlukan beberapa instrumentasi esensial yang harus dipersiapkan, antara lain (http://www.data.memberclicks. com/site/wi /OHSU_2001-guidelines.PDF) :

1)      Termometer air

2)      Termometer ibu

3)      Doppler anti air

4)      Sarung tangan

5)      Pakaian kerja (apron)

6)      Jaring untuk mengangkat kotoran

7)      Alas lutut kaki bantal, instrumen partus set

8)      Shower air hangat

9) Portable/permanent pool

10)  Handuk, selimut

11)  Warmer dan peralatan resusitasi bayi

Proses melahirkan melalui metode water birth sedikit berbeda dengan metode melahirkan konvensional (di atas tempat tidur), hal ini disebabkan perbedaan wahana melahirkan. Proses persalinan melalui water birth dapat dirangkum sebagai berikut:

Selama berlangsungnya Persalinan

  1. Ibu mengambil sikap yang dirasakan aman dan nyaman untuknya. Keleluasaan gerakan yang mengijinkan ibu mengambil posisi yang tepat untuk bersalin. Ibu masuk berendam ke dalam air direkomendasikan saat pembukaan serviks 4-5 cm dengan kontraksi uterus baik.

2.   Observasi dan monitoring antara lain :

1) Fetal Heart Rate (FHR) dengan doppler atau fetoskop setiap 30 menit selama persalinan kala I aktif, kemudian setiap 15 menit selama persalinan kala II. Auskultasi dilakukan sebelum, selama, dan setelah kontraksi.

2) Penipisan dan Pembukaan serviks dan posisi janin. Pemeriksaan vagina (VT) dapat dilakukan di dalam air atau pasien di minta sementara keluar dari air untuk diperiksa.

3) Status Ketuban, jika terjadi ruptur ketuban, periksa FHR, dan periksa adanya prolaps tali pusat. Jika cairan ketuban mekonium, pasien harus meninggalkan kolam.

4) Tanda vital ibu diperiksa setiap jam, dengan suhu setiap 2 jam (atau jika diperlukan). Jika ibu mengalami pusing, periksa vital sign, ajarkan ibu mengatur napas selama kontraksi.

5) Hidrasi Ibu. Dehidrasi dibuktikan dengan adanya takikardi ibu dan janin dan peningkatan suhu badan ibu. Jika tanda dan gejala dehidrasi terjadi, ibu diberi cairan. Jika tidak berhasil pasang infus ringer laktat (RL).

  1. Mengedan seharusnya secara fisiologis. Ibu diperkenankan mengedan spontan, risiko ketidakseimbangan oksigen dan karbondioksida dalam sirkulasi maternal-fetal berkurang, dan juga akan dapat melelahkan ibu dan bayi.
  2. Persalinan, bila mungkin metode ”hand off”. Ini akan meminimalkan stimulasi.
  3. Lahirnya kepala bayi difasilitasi oleh adanya dorongan lembut kontraksi uterus. Sarung tangan digunakan penolong untuk melahirkan bayi. Sokong perineum, massage, dan tekan dengan lembut jika diperlukan. Ibu dapat mengontrol dorongan kepala dengan tangannya.
  4. Manipulasi kepala biasanya tidak diperlukan untuk melahirkan bayi karena air memiliki kemampuan untuk mengapungkan. Walaupun demikian, pasien perlu berdiri membantu mengurangi atau memotong dan mengklem lilitan tali pusat. Meminimalkan rangsangan mengurangi risiko gangguan pernapasan.
  5. Bayi seharusnya lahir lengkap di dalam air. Kemudian sesegera mungkin dibawa ke permukaan secara “gentle”. Pada saat bayi telah lahir kepala bayi berada diatas permukaan air dan badannya masih di dalam air untuk menghindari hipotermia, mencegah transfusi ibu ke bayi. Sewaktu kepala bayi telah berada di atas air, jangan merendamnya kembali.
  6. Sewaktu bayi lahir, kepala bayi dikendalikan dengan gerakan yang lembut, muka ke bawah, dan muncul dari dalam air tidak lebih dari 20 detik. Janin dapat diistirahatkan di dada ibu sambil membersihkan hidung dan mulutnya, jika diperlukan. Penanganan ini sebaiknya melihat juga panjang tali pusat agar tidak sampai putus. Kemudian bayi diberi selimut, dan di monitor.
  7. Idealnya, ibu dan bayi dibantu keluar dari air untuk melahirkan plasenta. Tali pusat di klem dan dipotong, dan bayi dikeringkan dengan handuk dan diselimuti dan kemudian diberikan kepada penolong lain, keluarga, atau perawat. Ibu dibantu keluar dari kolam. Plasenta dapat dilahirkan di dalam air atau di luar tergantung penolong (Kitzinger, 2000). Ibu dianjurkan menyusui sesegera mungkin setelah bayi lahir untuk membantu kontraksi uterus dan pengeluaran plasenta. Risiko secara teori yang dihubungkan dengan efek relaksasi air hangat terhadap otot-otot uterus termasuk solusio plasenta, emboli air dan peningkatan perdarahan.

10.  Tindakan berikutnya adalah

1) Manajemen aktif dan psikologi tetap diberikan sampai ibu keluar kolam.

2)  Saat manajemen aktif kala III, syntometrine dapat diberikan.

3)  Estimasikan perdarahan < atau > 500 ml.

4) Penjahitan perineum dapat di tunda sekurang-kurangnya 1 jam untuk menghilangkan retensi air dalam jaringan (jika perdarahan tidak berlebihan).

Para ginekolog sepakat, studi mengenai keamanan water birth, baik terhadap keselamatan ibu maupun bayi perlu dilakukan. Ini merupakan jaminan bagi ibu yang memilih metode ini merasa aman atas pilihannya. Sejauh ini, berdasarkan riset belum ada kasus buruk yang menimpa ibu yang melahirkan di dalam air. Seringkali, cerita yang beredar hanya anekdot berdasarkan pengalaman ibu atau petugas medis yang pernah mengalaminya. Justru, sejumlah penelitian menginformasikan persalinan di dalam air layak dilakukan (Danuatmaja, 2008), diantaranya adalah:

  1. Sebuah penelitian di Liverpool, Inggris, membandingkan 100 ibu yang melahirkan di air dengan 100 ibu yang melahirkan di darat. Hasilnya menyebutkan, bayi yang dilahirkan di air sama sehat dan baik kondisinya dengan bayi yang lahir di darat. Tidak satupun dari 100 bayi tersebut memerlukan penanganan khusus.
  2. Dua tahun kemudian, sebuah artikel di British Medical Journal menyebutkan, peluang bayi lahir bermasalah dan harus dirawat di ICU sama besarnya antara bayi yang lahir di air maupun di darat. Jadi, penyebab bayi bermasalah  bukan persoalan tempatnya dilahirkan. Pada artikel yang sama disebutkan, kasus lima bayi yang meninggal dalam persalinan di dalam air disebabkan karena hal-hal sebagai berikut. Satu bayi meninggal karena ibu bersalin di rumah tanpa bantuan siapapun, satu bayi meninggal sebelum ibu masuk ke kolam persalinan. Dua bayi meninggal akibat memiliki masalah pada organ tubuh, dan bayi satunya meninggal akibat terkena infeksi di rahim ibu pada masa kehamilan.
  3. Sejumlah penelitian di Southend, Inggris, dalam kurun waktu 1989-1994 menghasilkan temuan bahwa water birth aman dilakukan sepanjang ibu dibantu tenaga medis yang profesional dan menguasai teknik pertolongan water birth. Meskipun ada kasus dua bayi yang meninggal akibat tenggelam dan kemasukan air, hal ini dikarenakan bayi tersebut terlambat diangkat dari air setelah persalinan tersebut usai. Keterlambatan dilaporkan mencapai satu jam.
  4. Penelitian menunjukkan, water birth cenderung mempercepat keseluruhan proses persalinan. Sebuah penelitian menyebutkan, air membuat persalinan tahap kedua atau tahap mengejan dan melahirkan lebih cepat hingga 90 menit. Waktu persalinan menjadi lebih singkat lagi pada persalinan kedua.
  5. Dua studi penting lainnya menyimpulkan, penggunaan kolam air secara signifikan mengurangi penggunaan obat pereda sakit dan mengurangi penggunaan alat bantu persalinan, seperti forsep. Riset juga menyebutkan, water birth mengurangi robekan perineum. Namun ini hanya berlaku bagi ibu yang melahirkan pertama kali.

Beberapa penelitian di atas telah menyiratkan bahwa water birth itu layak dilakukan karena beberapa keuntungan atau kelebihan yang dimilikinya, baik untuk ibu maupun  untuk bayinya. Keuntungan yang diperoleh ibu di antaranya:

1) Mengurangi Nyeri Persalinan Dan Memberi Rasa Nyaman

Nyeri persalinan berkurang disebabkan ibu berendam dalam air hangat yang membuat rileks dan nyaman sehingga rasa sakit dan stres akan berkurang. Mengurangi rasa sakit adalah tujuan utamanya, sedangkan secara teknis water birth pada dasarnya sama seperti melahirkan normal, proses dan prosedurnya sama, hanya tempatnya yang berbeda.

Penelitian menunjukkan water birth sesungguhnya dapat memperpendek persalinan kala I dan tekanan darah menjadi lebih rendah dibanding persalinan konvensional. Harper melaporkan bahwa water birth efektif untuk menangani nyeri persalinan. Suatu Randomized Controlled Trial (RCT), ibu hamil yang berendam di dalam air hangat pada persalinan dengan penyulit (distosia) dibandingkan dengan augmentasi standar menunjukkan bahwa angka penggunaan epidural analgesia dan intervensi obstetri lebih rendah. Secara retrospektif dilaporkan berkurangnya nyeri dan meningkatnya kepuasan.

Water Birth merupakan suatu bentuk hydrotherapy, metode ini efektif dan bermanfaat dalam penanganan nyeri pada kondisi seperti lower back pain (yang umumnya menjadi keluhan ibu saat persalinan). Evaluasi terhadap 17 Randomized Controlled Trial (RCT), 2 Controlled Studies, 12 Cohort Studies, dan 2 laporan kasus, menyimpulkan bahwa terdapat keuntungan hydrotherapy dalam penanganan nyeri, bermanfaat, manjur dan memiliki efek mobilitas, kekuatan, dan keseimbangan, terutama sekali pada orang dengan rematik dan nyeri pinggang bawah kronik. Hydrotherapy juga merupakan suatu alternatif yang relatif aman jika dibandingkan dengan penanganan nyeri persalinan konvensional (menggunakan anastesi dan narkotik). Berendam dalam air akan dapat mengurangi 75% nyeri persalinan (Busser, 2005).

2) Mengurangi Tindakan Episiotomi

Dalam hal trauma perineum, dukungan air pada waktu kepala bayi yang crowning lambat akan menurunkan risiko robekan, dan dapat mengurangi keperluan akan tindakan episiotomi. Dalam literatur water birth bahkan tidak ditemukan angka kejadian episiotomi (Herper, 2000). Selain hal tersebut, trauma perineum yang terjadi dilaporkan tidak berat, dengan dijumpai lebih banyak kejadian intak perineum, tetapi beberapa literatur mendapatkan frekuensi robekan sama pada persalinan primipara di dalam maupun di luar air (Herper, 2000). Masih terdapat mitos bahwa ibu yang melahirkan dalam air lebih mungkin untuk mengalami robekan karena yang membantu persalinan kesulitan untuk melakukan episiotomi jika diperlukan. Namun sesungguhnya ibu yang melahirkan dalam air hangat kurang mengalami robekan, karena air hangat dapat meningkatkan aliran darah dan mampu melunakkan jaringan di sekitar perineum ibu. Ketika memerlukan episiotomi, penolong justru lebih mudah menjangkau bagian perineum ibu untuk melakukan massage atau tindakan lain. Kebanyakan episiotomi tidak diperlukan, dan jika penolong mengganggap selama proses persalinan terdapat keadaan emergensi, penolong akan membatalkan pelaksanaan metode ini (McFarland, 2004 ; Wattis, 2005).

The Birth Centre Network UK, Nicoll A. et al. mendapatkan 300 kelahiran pertahun, 150 diantaranya menggunakan water birth dengan episiotomy rate 2%.28 A Comparative Study tentang water birth yang membandingkan antara metode Maia-birthing stool, bedbirths (kecuali vakum ekstraksi), dimana didapatkan data bahwa kejadian episiotomi pada water birth 12,8%, Maia-birthing stool 27,7%, bedbirths 35,4%, perbedaan ini secara statistik sangat bermakna (Geissbừhler, 2005).

3) Pemendekan Persalinan Kala I

Persalinan dan kelahiran di dalam air juga dapat mempercepat proses persalinan yang dihubungkan secara signifikan dengan persalinan kala I yang akan menjadi lebih pendek (Thoni et al., 2005). Dalam hal ini ibu dapat lebih mengontrol perasaannya, menurunkan tekanan darah, lebih rileks, nyaman, menghemat tenaga ibu, mengurangi keperluan obat-obatan dan intervensi lainnya, memberi perlindungan secara pribadi, mengurangi trauma perineum, meminimalkan penggunaan episiotomi, mengurangi kejadian seksio sesarea, memudahkan persalinan (Schroeter, 2004; Garland et al.,2007; Palmer, 2007).

A comparative study after 555 birth in water. Penelitian ini menunjukkan keuntungan medis yang relevan untuk water birth, dan pengurangan yang signifikan terhadap durasi persalinan kala I, bermaknanya pengurangan episiotomi dan laserasi perineum serta keperluan analgesik. Keamanan neonatus terjamin dengan tetap memperhatikan kontraindikasi yang ada (Thoni, 2001).

4) Menurunkan Tekanan Darah

Dalam hal menurunkan tekanan darah. Menurut Pre & Perinatal Psycology Association of North America Conference, wanita dengan hipertensi akan mengalami penurunan tekanan darah setelah berendam dalam air hangat selama 10-15 menit. Kecemasan yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah akan dapat dikurangi dengan berendam dalam air hangat. (http://www.waterbirth.org/mc/page.do)

Sementara itu, beberapa penelitian dan pengalaman dari beberapa orang yang pernah menerapkan metode ini, menginformasikan beberapa keuntungan water birth untuk bayi. Keuntungan yang diperoleh bayi dirangkum dalam paragraph berikut.

Water birth memberikan keuntungan terutama saat kepala bayi masuk ke jalan lahir, dimana persalinan akan menjadi lebih mudah. Air hangat dengan suhu yang tepat suasananya menyerupai lingkungan intrauterin sehingga memudahkan transisi dari jalan lahir ke dunia luar.

(Available at: http://www.en.wikipedia.org/wiki/water_birth).

Air hangat juga dapat mengurangi ketegangan perineum dan memberi rasa nyaman bagi ibu dan bayi, sehingga bayi lahir kurang mendapatkan trauma (oleh karena adanya efek dapat melenturkan dan meregangkan jaringan perineum dan vulva) dibandingkan pada persalinan air dingin dan tempat bersalin umumnya (Palmer, 2001; Johnson, 2007).

Bayi yang lahir di dalam air tidak segera menangis, bayi tampak menjadi tenang. Bayi tidak tenggelam jika dilahirkan di air, karena selama kehamilan bayi hidup dalam lingkungan air (amnion) sampai terjadi transisi persalinan dari uterus ke permukaan air (McFarland, 2003). Demikian pula masalah lilitan tali pusat di leher, tidak menjadi masalah, sepanjang tidak ada deselerasi denyut jantung bayi (yang menunjukkan fetal distress) sebagai akibat ketatnya belitan tali pusat di leher (McFarland, 2003).

Pemendekan persalinan kala I selain memudahkan persalinan bagi ibu, juga baik untuk bayi yaitu mencegah trauma atau risiko cedera kepala bayi, kulit bayi lebih bersih, menurunkan risiko bayi keracunan air ketuban (Garland et al., 2000; Palmer, 2001; Schroeter, 2004). Oleh karena itu metode ini dikenal sebagai persalinan “Easier for Mom ~ Better for Babies”.

(http://www.waterbirth.org/mc/page.do.)

Menurut para pendukung water birth, metode ini tidak menyebabkan risiko serius maupun komplikasi. Hal ini hanya akan terjadi, jika prosedur yang dilakukan tidak tepat atau penanganannya buruk. Protokol persalinan merupakan suatu hal penting yang harus dimiliki untuk mencegah risiko dan komplikasi (Singh et al., 2006). A comparative study. A prospective study on more than 2000 waterbirths; water birth dan berbagai alternatif persalinan seperti Maia-birthing stool memiliki risiko yang lebih rendah pada ibu dan bayi daripada bedbirths jika dalam penanganan kelahiran menggunakan monitoring yang baik (Geissbừhler, 2000).

Adapun risiko-risiko yang dapat timbul antara lain (www. water birth risk often involve various problems with breathing.htm) :

1. Risiko Maternal

1) Infeksi.

Menurut European Journal of Obstetrics and Reproductive Biology 2007, water birth merupakan ‘a valuable alternative’ persalinan normal. Penelitian yang dipimpin oleh Rosanna Zanetti-Daellenbach menemukan tidak ada perbedaan angka kejadian infeksi maternal maupun neonatal atau parameter laboratorium termasuk luaran fetus dalam hal APGAR Score, pH darah, dan keperluan perawatan intensif.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa water birth menyebabkan risiko infeksi oleh karena berendam dalam air yang tidak steril dan ibu dapat mengeluarkan kotoran saat mengedan dalam kolam air. Namun penelitian menunjukkan bahwa traktus intestinal bayi mendapatkan keuntungan dari paparan ini. Kelahiran tersebut dan diri kita sendiri tidak steril. Sekresi vagina, blood slim, cairan amnion, dan feces ibu ketika bayi masuk ke dalam rongga panggul, keseluruhannya tidak steril. Jika ibu dalam keadaan persalinan kala aktif, air tidak akan masuk ke jalan lahir sewaktu ibu ada dalam kolam. Air dapat masuk ke vagina, namun tidak dapat masuk ke vagina bagian dalam, ke serviks maupun uterus. Penyakit infeksi tertentu, akan mati segera ketika kontak dengan air (McFarland, 2004; Wattis, 2005).

Salah satu cara yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi adalah menggunakan pompa pengatur agar air tetap bersirkulasi dengan filter/penyaring air sehingga jika air terminum tidak berisiko infeksi. Kolam yang sudah disterilkan kemudian akan diisi air yang suhunya sekitar 32-370C disesuaikan dengan suhu tubuh.

2). Perdarahan Postpartum

Risiko perdarahan pada ibu dan bayi juga harus dipertimbangkan. Walaupun comparative study di Swiss menunjukkan suatu hal yang positif, namun penelitian lain di Inggris tidak menemukan adanya perbedaan yang bermakna antara metode water birth dengan metode persalinan lainnya (Sasi, 2007). Penyedia layanan water birth yang tidak berpengalaman akan sukar menilai jumlah perdarahan post partum, sementara metode penanganannya telah berkembang dengan baik. Hal ini menyebabkan sejumlah penyedia layanan lebih memilih melahirkan plasenta di luar kolam seperti di The University of Michigan Hospital.

(http://www.en.wikipedia.org/wiki/water_birth).

3). Trauma Perineum

Penggunaan episiotomi pada water birth 8,3% tidak menunjukkan laserasi perineum derajat tingkat III dan IV dan 25,7%, pada land birth menunjukkan kejadian laserasi perineum derajat tingkat III dan IV dengan angka penggunaan episiotomi lebih tinggi (Cook, 2006). A Cochrane review oleh Cluett et al., membuktikan bahwa ada risiko terjadi trauma perineum pada persalinan dengan water birth, namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada luaran klinik dalam hal trauma perineum (Alfirevic et al., 2006)

Pada penelitian tahun 1991-1997 Obstetrics and Gynecology of Cantonal Hospital of Frauenfeld, Switzerland membandingkan 3 grup persalinan pervaginam : water birth, Maia-birthing stool, dan bedbirth mendapatkan angka kejadian episiotomi 12,8% pada water birth 27,7% pada Maia-birthing stool, dan 35,4% pada bedbirth. Ini secara statistik sangat bermakna. Disamping angka episiotomi bedbirth terjadi paling tinggi juga menunjukkan derajat laserasi perineum III dan IV(4,1%) (Geissbừhler, 2000).

2. Risiko Neonatal

Terdapat risiko penting secara klinik pada bayi, termasuk masalah pernapasan, ruptur tali pusat disertai perdarahan, dan penularan infeksi melalui air (Chapman, 2004; Schroeter, 2004; Alfirevic et al., 2006).  Laporan dari sejumlah kasus menghubungkan water birth dengan respiratory distress, hiponatremia, infeksi, hypoxic ischemic encephalopathy, ruptur tali pusat, kejang, takikardia, demam (dihubungkan dengan temperatur air), serta near drowning pada bayi atau fetus (Gilbert, 2002; American Journal of Obstetrics and Gynecology, 2004; Batton et al., 2005; Kassim et al., 2005), di antaranya dirangkum sebagai berikut:

1). Terputusnya Tali Pusat

Mekanisme terputusnya tali pusat ini terjadi ketika bayi lahir sesegera mungkin dibawa ke permukaan air tidak secara “gentle”, jika tali pusat pendek akan dapat mengakibatkan tegangan yang berlebihan pada tali pusat (In Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (draft guidelines on waterbirth, 2000).

Suatu review yang mengidentifikasi 16 artikel, melaporkan adanya 63 komplikasi neonatal diakibatkan oleh water birth, salah satu diantaranya adalah masalah putusnya tali pusat (Alfirevic et al., 2006). Suatu penelitian yang tidak terduga menunjukkan hasil bahwa 5 dari 37 bayi (14%) yang lahir di air dan memerlukan perawatan khusus karena terputusnya tali pusat, 1 bayi memerlukan tranfusi. Kasus terputusnya tali pusat kemungkinan disebabkan oleh terlalu cepat mengangkat bayi ke permukaan sehingga menyebabkan tarikan cepat dari tali pusat yang melampaui panjang tali dibandingkan biasanya (Schroeter, 2004; Batton et al., 2005). Tidak ada data risiko terputusnya tali pusat pada persalinan normal di luar air (Duley, 2001).

2).Takikardi.
3). Infeksi

Risiko infeksi jarang terjadi pada water birth (Geissbừhler, 2000). Infeksi saluran pernapasan pada bayi yang dilahirkan secara water birth jarang terjadi, namun risiko ini tetap harus diperhitungkan (Sasi, 2007). Sejumlah kasus yang mungkin membahayakan bayi antara lain infeksi herpes, perdarahan luas, dan berbagai infeksi lainnya. Metode water birth tidak direkomendasikan pada bayi preterm. Berdasarkan laporan kasus yang dipublikasikan, infeksi P. aeruginosa didapatkan pada swab telinga dan umbilikus bayi yang lahir dengan water birth (Rawal et al., 1994; Parker, 1997; Nagai, 2003).

Pada suatu Randomized Controlled Trial dari akibat water birth di Kanada, tidak menemukan perbedaan pada ibu risiko rendah dan adanya tanda infeksi pada ibu dengan ruptur membran ketuban. Penelitian tahun 1999 tentang kultur bakteri di Oregon Health Sciences University Hospital, tidak menemukan secara langsung bakteri pada kultur kolam persalinan, sementara bakteri Pseudomonas yang umumnya ada pada kran air ditemukan, namun janin yang terinfeksi bakteri tersebut tidak memerlukan terapi antiinfeksi. Ini mengkonfirmasi terhadap apa yang ditemukan pada penelitian di Inggris lebih dari 3 tahun.

Sebaiknya ada protokol ketat untuk menjaga kebersihan kolam antara persalinan satu dengan yang lain (terutama di rumah sakit), karena ada sedikit risiko perpindahan bakteri dari bayi ke bayi atau ibu ke ibu. Selain itu biasanya pada keran air terdapat bakteri Pseudomonas. Pediatri menganjurkan untuk mempertimbangkan adanya gejala infeksi Pseudomonas pada bayi dengan persalinan water birth (Rawal et al.,1994; Nagai et al., 2003; American Journal of Obstetrics and Gynecology, 2004; Alfirevic et al., 2006).

4). Hipoksia

Tali pusat secara terus menerus akan menyediakan darah beroksigen, sambil bayi merespon stimulasi baru yaitu pertama kali mengisi paru-parunya dengan udara. Penundaan pengkleman dan pemotongan tali pusat sangat bermanfaat dalam proses transisi bayi untuk hidup di luar uterus. Ini akan memaksimalkan fungsi perfusi jaringan paru (Wattis, 2005). Garland (2000) tidak merekomendasikan pemotongan dan pengkleman tali pusat sampai bayi mencapai permukaan air disebabkan oleh meningkatnya risiko hipoksia. Hipoksia bayi akan mengganggu baby’s dive reflex, yang mengakibatkan penekanan respon menelan sehingga akan menimbulkan bayi menghirup air selama proses water birth. Odent (1998) merekomendasikan pengkleman tali pusat 4-5 menit setelah persalinan. Namun menurut Austin, Bridges, Markiewicz and Abrahamson (1997) penundaan pengkleman tali pusat dapat mengakibatkan polisitemia, berdasarkan hipotesa bahwa air hangat mencegah vasokonstriksi tali pusat sehingga banyak darah ibu tertransfer ke bayi (vasokontriksi terjadi ketika kontak dengan udara) (Chapman, 2004).
5). Aspirasi Air dan Tenggelam

Terdapat berbagai kritikan tentang water birth, dimana adanya risiko tenggelam jika bayi menghirup air atau bernapas dalam air. Secara teoritis risiko terjadinya aspirasi air pada water birth sekitar 95%. Risiko masuknya air ke dalam paru-paru bayi dapat dihindari dengan mengangkat bayi yang lahir sesegera mungkin ke permukaan air. Pemanjangan fase berendam mengakibatkan kekurangan oksigen, emboli air, dan perdarahan. Air hangat mencegah pembekuan darah setelah persalinan, dan juga risiko infeksi. Menurut British Medical Journal (BMJ) bulan juni 2005, bayi-bayi dengan sendirinya tidak akan bernapas sampai terpapar udara, kecuali mengalami asfiksia yang diakibatkan penekanan tali pusat. (Gilbert, 2002; Cook, 2006).

Berdasarkan penelitian diperkirakan sekitar 38% bayi yang lahir dengan water birth berisiko tenggelam. Pada bulan Nopember 2005, dokter-dokter di New Zealand menemukan 4 kejadian bayi baru lahir nyaris tenggelam. Hal ini menandakan mengapa mereka percaya bahwa fakta-fakta lebih baik dan lebih dapat membuktikan pentingya keamanan pada persalinan ini, serta adanya risiko-risiko lain seperti Severe Respiratory Distress dan masalah pernapasan lainnya (Johnson, 2007).

Menurut para pemerhati metode water birth, untuk meminimalisasi risiko ataupun komplikasi seperti yang diuraikan di atas, pelaksanaan metode water birth ini dibutuhkan suatu peraturan atau syarat-syarat yang mengaturnya, di antaranya (Garland, 2000):

1)      Ibu hamil risiko rendah.

2)      Ibu hamil tidak mengalami infeksi vagina, saluran kencing, dan kulit

3)      Tanda vital ibu dalam batas normal, dan CTG bayi normal (baseline, variabilitas, dan ada akselerasi)

4)      Idealnya, air hangat digunakan untuk relaksasi dan penanganan nyeri setelah dilatasi serviks mencapai 4-5 cm

5)      Pasien setuju mengikuti instruksi penolong, termasuk keluar dari kolam tempat berendam jika diperlukan

Selain itu, Oregon health and Sciences University Water Birth Guidelines tahun 2001, membuat beberapa indikasi dan kontraindikasi pelaksanaan metode water birth ini. Beberapa indikasinya adalah sebagai berikut :

1)            Merupakan pilihan ibu

2)            Kehamilan normal ≥ 37 minggu

3)            Fetus tunggal presentasi kepala

4)            Tidak menggunakan obat-obat penenang

5)            Ketuban pecah spontan < 24 jam

6)            Kriteria non klinik seperti staf atau peralatan

7)            Tidak ada komplikasi kehamilan (preeklampsia, gula darah tak terkontrol, dll)

8)            Tidak ada perdarahan

9)            Denyut jantung normal

10)        Cairan amnion jernih

11)        Persalinan spontan atau setelah menggunakan misoprostol atau pitocin

Sedangkan beberapa kontraindikasinya adalah sebagai berikut:

1)      Infeksi yang dapat ditularkan- melalui kulit dan darah

2)      Infeksi dan demam pada ibu

3)      Herpes- genitalis

4)      HIV, Hepatitis

5)      Denyut jantung abnormal

6)      Perdarahan- pervaginam berlebihan

7)   Makrosomia

8)      Mekonium

9)      Kondisi yang- memerlukan monitoring terus menerus.

2.2. Perkembangan Sistem Pernapasan Neonatus

2.2.1. Perkembangan Pasca Lahir

Perkembangan paru pasca lahir dapat dibagi menjadi dua fase, tergantung pada kecepatan perkembangan relatif barbagai komponen paru. Selama fase pertama, yang meluas sampai umur 18 bulan sesudah lahir, ada kenaikan yang tidak seimbang pada permukaan dan volume ruang yang terlibat dalam pertukaran gas. Volume kapiler meningkat lebih cepat daripada volume ruangan udara, dan ini, selanjutnya, bertambah lebih cepat daripada volume jaringan padat. Perubahan-perubahan ini disempurnakan terutama melalui proses penyekatan alveolus. Proses ini terutama akti selama awal masa neonatus dan berbeda dengan sebelumnya, dapat mencapai sempurna pada umur 2 tahun pertama bukan umur 8 tahun pertama. Konfigurasi ruangan udara secara progresif menjadi lebih kompleks, tidak hanya karena perkembangan sekat-sekat yang baru tetapi juga karena pemanjangan dan pelipatan struktur alveolus yang ada. Segera sesudah lahir, sistem kapiler ganda yang terdapat di dalam sekat alveolar janin berfusi menjadi satu sistem tunggal yang lebih tebal. Pada saat yang sama, cabang-cabang arteri dan vena baru berkembang dalam sistem sirkulasi asinus dan otot mulai muncul pada lapisan media arteri intra-asinar.

Selama fase kedua, semua ruangan tumbuh lebih proporsional satu sama lain. Walaupun ada sedikit pertanyaan apakah alveolus masih dapat dibentuk, sebagian besar pertumbuhan terjadi melalui penambahan volume alveolus yang telah ada. Permukaan alveolus dan kapiler meluas sejajar dengan pertumbuhan badan (Nelson, 2000).

2.2.2. Pernapasan Pertama

Selama persalinan melalui vagina, kompresi intermitten toraks mempermudah pengeluaran cairan dari paru-paru. Surfaktan dalam cairan memperbesar pengisian udara (aerasi) pada paru yang bebas-gas dengan mengurangi tegangan permukaan, sehingga dapat menurunkan tekanan yang diperlukan untuk membuka alveolus. Meskipun demikian, tekanan yang diperlukan untuk mengembangkan paru yang tidak mengandung udara lebih tinggi daripada tekanan yang diperlukan pada setiap masa kehidupan yang lain; tekanan ini berkisar dari 10-50 cm H2O selama interval 0,5 sampai 1,0 detik dibanding dengan sekitar 4 cm untuk pernapasan normal bayi cukup bulan dan orang dewasa. Kebanyakan neonatus memerlukan kisaran tekanan pembukaan yang lebih rendah. Tekanan yang lebih tinggi diperlukan untuk memulai pernapasan dalam mengatasi gaya perlawanan tegangan permukaan (terutama pada jalan napas kecil) serta viskositas cairan yang tetap berada dalam jalan napas, guna memasukkan 50 mL udara ke dalam paru, dimana 20-30 mL dari volume tersbut menetap sesudah pernapasan pertama dan menjadi FRC. Sebagian besar cairan di dalam paru diambil oleh sirkulasi paru, yang bertambah beberapa kali lipat pada saat lahir karena semua curah ventrikel kanan menyebar ke bantalan vaskular paru. Sisa cairan dikeluarkan melalui saluran limfe paru, dihembuskan oleh neonatus, ditelan, atau diaspirasi dari orofaring; pengeluaran cairan paru ini dapat terganggu pada keadaan pasca-seksio sesaria, cedera sel endotel, atau sedasi neonatus.

Ada banyak rangsangan untuk menimbulkan pernapasan pertama, dan kepentingan relatifnya belum pasti. Rangsangan ini meliputi penurunan PO2 dan pH, serta peningkatan PCO2 akibat adanya gangguan pada sirkulasi plasenta, redistribusi curah jantung sesudah talipusat diklem, penurunan suhu tubuh, dan brbagai rangsangan taktil.

2.2.3 Pola Pernapasan pada Neonatus

Selama tidur pada usia bulan pertama, normal normal cukup bulan mungkin kadang-kadang mengalami episode, yaitu pernapasan teratur terganggu dengan jeda-jeda (perhentian-perhentian)pendek. Pola pernapasan periodik ini, bergeser dari irama teratur ke episode apnea intermitten siklik yang singkat, lebih lazim terjadi pada bayi prematur, yang dapat mengalami jeda selama 5-10 detik diikuti dengan ledakan pernapasan cepat dengan frekuensi 50-60/menit selama 10-15 detik. Jarang disertai perubahan warna atau perubahan frekuansi jantung, dan sering berakhir tanpa alasan yang jelas. Pernapasan periodik intermitten biasanya menetap sampai bayi prematur berumur 36 minggu usia kehamilan. Jika bayi hipoksik, penambahan kadar oksigen yang diinspirasi akan sering menambah pernapasan periodik menjadi pernapasan teratur. Transfusi sel darah merah atau rangsangan fisik eksterna juga dapat mengurangi jumlah episode apnea. Pernapasan periodik tidak memberikan arti prognostik, hal ini merupakan suatu karakteristik normal pada pernapasan neonatus (Nelson, 2000).

2.2.4. Respon Neonatus terhadap Ketersediaan O2

Neonatus berespon terhadap berbagai stimulus dengan cara yang berbeda dari orang dewasa. Dalam responnya terhadap kadar O2 yang rendah, neonatus tidak terus menerus menaikkan ventilasi, dan seringkali ventilasi menurun sampai di bawah kadar garis dasar. Kadar CO2 tidak naik pada saat ventilasi menurun, memberi kesan bahwa ventilasi menyesuaikan kebutuhan metabolik. Respon neonatus terhadap  O2 rendah ini dapat dianggap sebagai respon pertengahan antara respon janin menghentikan semua upaya pernapasan dalam responnya terhadap kekosongan O2, dan orang dewasa berhiperventilasi selama stimulus ada. Mekanisme untuk tidak adanya kenaikan yang bertahan pada ventilasi selama hipoksia pada neonatus tidak dimengerti dengan baik. Di samping perbedaan dalam kecepatan metabolik selama hipoksia pada neonatus dan dewasa, perubahan dalam sifat-sifat mekanik paru dan jalan napas, maturasi kemoreseptor karotis, dan perubahan dalam sifat-sifat seluler dan membran neuron sentral semuanya telah diusulkan sebagai kemungkinan mekanisme individu atau kombinasi. Hal yang penting secara klinis adalah, bahwa jaringan neonatus tahan terhadap kekosongan O2 dan tidak mudah terkena jejas seperti jaringan orang dewasa. Hal ini terutama berlaku pada jantung dan otak serta ginjal, organ yang diketahui sensitif terhadap hipoksia dan iskemia pada binatang atau manusia matur (Nelson, 2000).

2.4. Hipotesis

Ada pengaruh water birth terhadap perkembangan sistem pernapasan pada neonatus.

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Pelaksanaan penelitian dimulai dari Januari 2009 sampai Desember 2009 di Sam Marie Hospital Jakarta dan Rumah Sakit Ibu dan Anak Budhi Jaya Jakarta.

3.2. Jenis Penelitian yang Digunakan

Penelitian ini  dilakukan secara analitik dengan suatu desain kohort prospektif, menggunakan data primer yang diperoleh dari observasi dengan melakukan pemeriksaan dan pencatatan.

3.3. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

3.3.1. Populasi

3.3.1.1. Populasi Target

Populasi target penelitian ini adalah neonatus yang lahir dengan metode water birth dan metode persalinan konvensional di fasilitas kesehatan di Indonesia

3.3.1.2. Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau adalah neonatus yang lahir dengan metode water birth dan metode persalinan konvensional di Sam Marie Hospital Jakarta dan Rumah Sakit Ibu dan Anak Budhi Jaya Jakarta.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah semua neonatus yang lahir di Sam Marie Hospital Jakarta dan Rumah Sakit Ibu dan Anak Budhi Jaya  Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Sampel dibagi menjadi 2 kelompok

1) Neonatus yang lahir dengan metode persalinan water birth

2)      Neonatus yang lahir dengan metode persalinan konvensional

3.3.3. Kriteria Sampel

3.3.3.1. Kriteria Inklusi

Neonatus lahir di Sam Marie Hospital dan Rumah Sakit Ibu dan Anak Budhi Jaya, masa kehamilan 37 minggu s/d 42 minggu, berat lahir 2500 gram s/d 3000 gram, tanpa gangguan kongenital, yang diamati sejak proses persalinan sampai pertumbuhan dan perkembangan selama satu bulan pertama.

3.3.3.2. Kriteria eksklusi

Neonatus lahir dengan masa kehamilan kurang dari atau lebih dari 37 minggu s/d 42 minggu, berat lahir kurang dari atau lebih dari 2500 gram s/d 3000 gram, terdapat gangguan kongenital, tidak diamati sejak proses persalinan sampai pertumbuhan dan perkembangan selama satu bulan pertama, data pengamatan tidak lengkap, ibu menolak berpartisipasi dalam penelitian, atau ibu mengundurkan diri selama proses penelitian sedang berlangsung.

3.3.4. Besar Sampel

Sampel untuk penelitian ini adalah seluruh neonatus yang lahir dengan metode persalinan water birth di Sam Marie Hospital Jakarta dan Rumah Sakit Ibu dan Anak Budhi Jaya  Jakarta dan jumlah neonatus yang lahir dengan metode persalinan konvensinal disesuaikan dengan jumlah neonatus yang lahir dengan metode persalinan water birth (teknik matching).

3.3.5. Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan total sampling untuk  sampel persalinan metode water birth karena populasinya tidak terlalu banyak dan teknik matching untuk sampel persalinan metode konvensional karena ingin didapatkan jumlah yang sama dan identik untuk kedua kelompok sampel.

3.4. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.4.1. Klasifikasi Variabel

3.4.1.1. Variabel bebas : metode persalinan (metode persalinan water birth dan metode persalinan kovensional)

3.4.1.2. Variabel terikat : Apgar Score, Downe Score, irama napas

3.4.2. Defenisi Operasional

1)      Metode Persalinan Water Birth adalah salah satu metode alternatif persalinan pervaginam, dimana ibu hamil tanpa komplikasi bersalin dengan jalan berendam di dalam air hangat setelah mengalami pembukaan 6 sampai proses melahirkan terjadi dengan tujuan mengurangi rasa nyeri kontraksi dan memberi sensasi rasa nyaman (Bayuningrat, 2008).

2)      Metode Persalinan Konvensional adalah metode persalinan pervaginam, dimana ibu hamil tanpa komplikasi bersalin di atas tempat tidur, mulai dari pembukaan awal sampai proses melahirkan terjadi, dan tanpa bantuan alat atau pertolongan khusus.

3)      Apgar Score adalah metode praktis yang secara sistematis digunakan untuk menilai bayi baru lahir segera sesudah lahir, untuk membantu mengidentifikasi bayi yang memerlukan resusitasi akibat asidosis hipoksik (Nelson, 2000) yang merupakan penjumlahan nilai-nilai yang diperoleh dari penilaian denyut jantung, usaha bernapas, tonus otot, iritabilitas refleks, dan warna (Dorland, 2002).

4)      Downe Score adalah metode praktis yang secara sistematis digunakan untuk menilai bayi baru lahir segera sesudah lahir, untuk membantu mengidentifikasi respiratory distress pada bayi yang merupakan penjumlahan nilai-nilai yang diperoleh dari penilaian frekuensi napas, retraksi, sianosis, jalan masuk udara, dan grunting.

5)      Irama Napas adalah keteraturan proses ventilasi atau bernapas bayi.

3.5. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tabel Apgar Score dan Tabel Down Score.

3.6. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa alat pengukur waktu, stetoskop, timbangan berat badan neonatus dan lembar pencatatan.

3.7. Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dilakukan dengan mtode pencatatan hasil observasi dan pemeriksaan secara rutin dan teratur.

3.8. Cara Kerja dan Kerangka Konsep Kerja

3.8.1. Cara Kerja

1)      Subyek penelitian terdiri dari neonatus yang lahir dengan metode persalinan water birth dan lahir dengan metode persalinan konvensional

2)      Dilakukan observasi dan pengamatan pada riwayat masa kehamilan ibu dari calon neonatus yang akan dijadikan subyek penelitian, memastikan bahwa calon neonatus yang akan lahir telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, tindakan ini dapat dilakukan dengan membaca riwayat masa kehamilan ibu di rumah sakit atau wawancara dengan dokter kebidanan yang terkait.

3)      Dilakukan pengamatan pada tiap-tiap proses kelahiran neonatus, mulai dari pembukaan awal sampai proses kelahiran, tindakan ini dapat bekerja sama dengan dokter dan perawat yang membantu persalinan.

4)      Melakukan pemeriksaan berat badan neonatus dengan menggunakan timbangan berat badan neonatus yang sudah dikalibrasikan terlebih dahulu, tahapan ini dapat bekerjasama dengan perawat yang membantu persalinan dan merawat neonatus.

5)      Melakukan observasi terhadap neonatus, apakah terdapat kelainan kongenital atau tidak.

6)      Dilakukan pemeriksaan Apgar Score, Downe Score, dan irama pernapasan segera setelah neonatus lahir (60 detik sesudah persalinan selesai tanpa memperhitungkan talipusat dan plasenta), 5 menit setelah kelahiran, 1-6 jam setelah pemeriksaan pertama, dan selanjutnya satu kali tiap 24 jam selama satu bulan kelahiran pertama neonatus, tahapan ini dapat bekerjasama dengan perawat yang merawat neonatus.pemeriksaan frekuensi napas dilakukan selama 1 menit penuh.

7)      Dilakukan pencatatan pada setiap hasil observasi dan pemeriksaan.

3.8.2. Kerangka Konsep Kerja

3.9. Cara Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari pemeriksaan Apgar Score, Downe Score, dan irama pernapasan diolah secara manual karena data sedikit (<100), ditampilkan dalam bentuk tabel dan pie diagram dan dilanjutkan dengan melakukan analisis univariat untuk mengetahui karakteristik masing-masing variabel yang diteliti dan selanjutnya analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel

DAFTAR PUSTAKA

Alfirevic, Z., et al.2006. Immersion in water during labour and birth (Royal college of obstetricians and gynaecologists/Royal college of midwives joint statement no.1). Available at: http://www.rcm.org.uk/info/docs/RCOG_RCM_Birth_in_Water_ Final_Copy_1.pdf.

Chapman, B. 2004. Waterbirth protocol: Five North Island hospitals in New Zealand. College of Midwives Journal.

Cook, E. 2006. Alternative birthing methods.  Available at: http://www.americanpregnancy.org.

Garland, D., Choo, YP, Coe, M. 2004. In the use of water in labour and birth-The royal college of midwives. Available at:http://www.rcm.org.uk/info /docs/RCOG_ RCM_ Birth in water _Final_Copy. pdf .

Geissbừhler, V., Eberhard, J. 2000. In Waterbirths: A comparative study (Abstract). Fetal Diagnostics and therapy.

Gilbert, R. 2002. In water birth – a near drowning experience. Pediatrics

Guidelines for water birth at OHSU.2001. Oregon health and sciences university water birth guidelines. Available at: http://www.data.memberclicks. com/site/wi /OHSU_2001-guidelines.PDF.

Harper, B. 2000. In Waterbirth Basics from Newborn Breathing to Hospital Protocols. Midwifery. Today Magazine

Harper, B. 2000. In what prevents baby from breathing under water? In waterbirth basics from newborn breathing to hospital protocols. available: http://www. thiswomanswork.net/images/what_prevent_bay_from_breathing_under_water.pdf.

Harper, B. 2003.In taking the plunge: reevaluating waterbirth temperature guidelines MIDIRS. Available at: http://data.memberclicks.com/site/wi/MidirsarticleBH.pdf.

Kassim Z, Sellars M, Greenough A.2005. In underwater birth and neonatal respiratory distress (Departement of child health, guy’s, king’s and st thomas’ school of medical, king’s college hospital). London SES9RS, Departement of radiology, King’s college hospital. London. Available at: http://www.data.memberclicks.com/site/wi/BMJ-May 2005-waterbirth, pdf.

Kitzinger, S.2000. In explorating birth movement in water (The complete book of pregnancy and childbirth). Available at: http://www.waterbirth.org.

McFarland JA.2007. In waterbirth–myths vs realities. Available at: http://www.mybirthdesign.com/.

OGCCU.2007.  In water therapy – pain management in labour (Clinical guidelines-obstetrics and midwifery guidelines). Available at: http://www.kemh. health.wa. gov.au/development/manuals/sectionb/4/8269.pdf.

Palmer, J. In water during labour and birth. 2001 Available at: http://www. pregnancy.com.au/water_during_labour_and_birth.htm.

Schroeter K.2004. In water births: a naked emperor (departement of pediatrics, division of perinatal-neonatal medicine). J.Pediatrics

Singh U, Schereiner A, Macdermott R, Johnston D, Seymour J, Garland D, Davidson J.2006. Guidelines for Water Birth within the midwifery led unit and at home (Dartford and Gravesham-NHS Trust). Available at: http://www.darentvalley hospital. nhs.uk.

Thoni A, Murari S.2001. In birth in water. a comparative study after 555 births in water (Abstract). Minerva Ginecol

Thoni A, Zech N, Moroder L. 2005 .In water birth and neonatal infection experience with 1575 deliveries in water (Abstract). Minerva Ginecol

Water birth – wikipedia, the free encyclopedia (wikipedia foundation, Inc.). 2007 Available at: http://www.en.wikipedia.org/wiki/water_birth Zanetti RD, Lapaire O, Maertens A, Holzgreve W, Hosli I. In Water birth, more than a trendy alternative: a prospective, observational study (Medline abstract). Arch Gynecol Obstet 2006;274;6: 355-65

Wattis L.2005. In waterbirth–Myths and reality.  Available at: http://www. birthjourney.com/pdfs/waterbirth_realitiees.pdf.

Zanetti RD, Lapaire O, Maertens A, Holzgreve W, Hosli I.2006. In Water birth, more than a trendy alternative: a prospective, observational study (Medline abstract). Arch Gynecol Obstet

LAMPIRAN

Lampiran 1

TABEL APGAR SCORE

TANDA 0 1 2
Denyut jantung Tidak ada < 100 ≥ 100
Usaha bernafas Tidak ada Lemah Menangis kuat
Tonus otot Lumpuh Ekstremitas bereaksi sedikit Gerakan aktif
Refleks Tidak bereaksi Gerakan sedikit Reaksi melawan
Warna kulit Seluruh tubuh pucat/ biru Tubuh kemerahan ekstremitas biru Seluruh tubuh kemerahan

Keterangan Tabel

Skor 7-10        : Vigorus Baby

Skor 4-6          : Asfiksia ringan-sedang

Skor 0-3          : Asfiksia berat

Lampiran 2

DOWNE SCORE

TANDA 0 1 2
Frekuensi nafas < 60/menit 60-80/menit > 80/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang dengan O2 Sianosis meski diberi O2
Jalan masuk udara Udara masuk bilateral baik Penurunan ringan udara masuk Tidak ada udara masuk
Grunting Tidak ada grunting Dapat didengar oleh stetoskop Dapat didengar tanpa alat bantu

Keterangan Tabel

Skor < 4       : Tidak ada respiratory distress

Skor 4-7       : Respiratory distress

Skor >7        : Ancaman gagal napas


high angle rescue


HIGH ANGLE RESCUE

MAKALAH

Diajukan ke Hippocrates Emergency Team Badan Eksekutif Mahasiswa

Keluarga Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Sebagai Salah

Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Anggota Khusus

Oleh :

RHUDY MARSENO

HET 08-XIX-286

HIPPOCRATES EMERGENCY TEAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2009

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengevakuasian korban pada suatu bencana oleh tim penolong, atau yang lebih dikenal dengan tim rescuer, sering menemui hambatan terutama dalam mencapai lokasi bencana atau lokasi korban. Daerah geografis Indonesia yang berbukit-bukit dan berbatu-batu sering dianggap sebagai penyebabnya. Akibatnya,   dibutuhkan lebih banyak waktu untuk memberikan pertolongan kepada korban. Tidak mengherankan jika peluang terjadinya akibat fatal pada korban semakin tinggi.

Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu kemampuan dan keterampilan khusus dalam teknik evakuasi korban terutama pada medan-medan yang memiliki perbedaan ketinggian bagi anggota tim rescuer, termasuk anggota Hippocrates Emergency Team yang sering terlibat dalam Tim Bantuan Medis penanggulangan korban bencana. Teknik evakuasi pada medan seperti ini contohnya pada tebing dan lembah, yang sering disebut dengan teknik High Angle Rescue atau Vertical Rescue.

Di dalam makalah ini, penulis akan membahas teknik-teknik High angle Rescue, yang meliputi teknik Ascending, Descending, Lowering, Lifting dan Highlines atau Tyrolean. Selain pembahasan teknik evakuasi, penulis juga akan membahas beberapa aspek-aspek penting yang ikut terlibat dalam suatu tindakan evakuasi, yaitu simpul-simpul dasar, anchoring, belay dan prosedur keselamatan (safety procedures). Di dalam makalah ini, penulis juga menyertakan beberapa ilustrasi yang dapat memudahkan pemahaman materi.

1.2. Rumusan Masalah

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1. Tujuan Umum

1.3.2. Tujuan Khusus

  1. Mengetahui dan memahami definisi High angle Rescue
  2. 2. Mengetahui dan memahami tujuan High angle Rescue
  3. Mengetahui alat dan bahan yang digunakan pada High Angle Rescue
  4. 4. Mengetahui dan memahami teknik Ascending
  5. Mengetahui dan memahami teknik Descending
  6. Mengetahui dan memahami teknik Lowring
  7. Mengetahui dan memahami teknik Lifting
  8. Mengetahui dan memahami teknik Highlines
  9. Mengetahui dan memahami simpul-simpul yang digunakan pada High angle Rescue

10.  Mengetahui dan memahami cara pembuatan Anchor

11.  Mampu mengaplikasikan High angle Rescue

12.  Sebagai salah satu syarat kenaikan tingkat untuk menjadi anggota khusus HET

1.4. Manfaat Penulisan

  1. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis mengenai High Angle Rescue
  2. Menambah bahan bacaan mengenai High Angle Rescue bagi anggota HET

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

High Angle Rescue, disebut juga dengan vertical rescue, adalah upaya pertolongan di lingkungan yang berbentuk vertical atau high angle, dimana terdapat resiko bahaya yang sangat besar. 1

2.2. Tujuan

Tujuan High Angle Rescue adalah sebagai teknik evakuasi pada tempat yang memiliki perbedaan ketinggian.

2.3. Peralatan dan Bahan

2.3.1. Peralatan

2.3.1.1 Peralatan Umum

Jenis-jenis peralatan High Angle Rescue adalah sebagai berikut: 2

  1. Harness
    1. Fungsi

Fungsinya sebagai pendukung keselamatan saat bekerja di ketinggian (climbing caving vertical rescue).

  1. Syarat

Persyaratannya penggunaan harness adalah

1)      Nyaman saat dipakai sehingga rescuer dapat bekerja dengan leluasa

2)      Sabuk pinggang dapat diamankan

Gambar 2.1. Cara Pemakaian Sabuk Pinggang

Sumber: BASARNAS, 2009

3)      Dilengkapi tempat carabiner

4)      Di sisi sabuk pinggang dilengkapi loop untuk cantolan peralatan

  1. Tipe-tipe harness

Tipe-tipe harness adalah

1)      Seat Harness, terbagi atas

a)      Free Style, yaitu seat harness yang besar kecilnya dapat diatur sesuai keinginan penggunanya.

b)      Fixe Style, yaitu seat harness yang besarnya sudah ditentukan dari pabrik, sesuai dengan ukurannya masing-masing.

Gambar 2.2. Fixe Style Sit Harness

Sumber:

2) Full Body Harness

Gambar 2.3 Full Body Harness

Sumber:

3) Chest Harness

Gambar 2.4. Chest Harness

Sumber:

  1. Improvisasi Harness

Bentuk-bentuk improvisasi Harness antara lain

1)      Improvisasi Chest Harness

a)      Ikatan tetap

Cara pembuatannya adalah pertama-tama buat loop pita, kemudian masukkan loop tersebut di antara pundak dan ketiak sedangkan sisanya ditarik melalui bawah ketiak  dan lengan yang lain. Langkah berikutnya, ujung pita yang di bawah ketiak dimasukkan ke dalam loop dari pundak, kemudian bentuk simpul anyam.

Gambar 2.5. Improvisasi Chest Harness Tipe Ikatan Tetap

Sumber: BASARNAS, 2009

b)      Jepitan Carabiner

Cara pembuatannya adalah pertama-tama buat loop pita, kemudian buat 2 loop yang membentuk angka delapan. Masukkan kedua pundak ke dalam loop dengan persilangan berada di belakang. Hubungkan kedua loop di dada dengan carabiner.

Gambar 2.6. Improvisasi Chest Harness Tipe Jepitan Carabiner

Sumber: BASARNAS, 2009

2)      Improvisasi Seat Harness

Salah satu bentuk improvisasi seat harness adalah hasty seat harness. Cara pembuatannya adalah

a)      Buat loop pita

b)      Caver bagian belakang badan dengan loop

c)      Bagian bawah pita ditarik melalui selangkangan

d)     Pita yang ditarik melalui selangkangan terbagi dua, yaitu yang dipegang oleh tangan kiri dan tangan kanan. Tarik loop pita dari selangkangan dan masukkan ke dalam  loop pita yang cover bagian belakang badan.

e)      Tarik ke sisi kiri dan kanan

f)       Gabungkan pita yang ditarik ke kiri dan ke kanan dengan carabiner.

Gambar 2.7. Improvisasi Sit Harness

Sumber: BASARNAS, 2009

  1. Carabiner
    1. Definisi

Carabiner adalah metal pengunci yang berfungsi sebagai penghubung antar alat. Carabiner disebut juga Krabs, Biners, Snaplinks. Bentuknya Oval, Delta atau modified delta, mempunyai per pembuka yang terpasang pada bagian memanjang.

Gambar 2.8. Bagian-bagian Carabiner

Sumber: BASARNAS, 2009

  1. Spesifikasi

Spesifikasi carabiner adalah

1) Gates

Gate digunakan untuk memasukkan tali atau sling, dibuat dari steel atau alloy dan dilengkapi dengan pembuka gate, crew/pengunci dan non screw. Yang direkomendasikan untuk High Angle Rescue adalah carabiner screw gate.

Gambar 2.9. Carabiner Screw Gate

Sumber:

2)      Kekuatan

Setiap pembuatan carabiner diberi nilai dan ditempatkan pada sisi memanjang carabiner. Kekuatan minimum carabiner adalah 2500 kg.

3)      Perawatan

Setiap peralatan dibuat dari stell atau alloy. Cara perawatannya adalah tidak boleh menjatuhkan atau memukulkan carabiner pada permukaan yang keras.

  1. 3. Maillons

Maillons disebut juga quicklinks atau screwlinks, digunakan dengan beberapa macam ukuran dan bentuk. Kekuatan rata-rata mencapai 6000 kg. Maillons diproduksi dari steel atau alloy khusus, cocok untuk berbagai macam teknik evakuasi.

Gambar 2.16. Maillons

Sumber:

  1. Belay plate

Belay plate adalah alat yang didesain khusus untuk belay berbentuk plate dengan lobang di tengahnya yang digunakan untuk mengulur tali. Belay plate dikaitkan dengan carabiner screw gate, seperti gambar di bawah ini.

Gambar 2.17. Belay Plate

Sumber: BASARNAS, 2009

  1. Descender
    1. Definisi

Descender adalah alat yang berfungsi sebagai alat bantu untuk turun dimana tali berfungsi sebagai jalur.

  1. Jenis-jenis Descender

Jenis-jenis descender adalah

1)      Descender figure of eight

Gambar 2.18. Descender Figure of eight

Sumber:

2) Descender rappel rack

Gambar

Gambar 2.19. Descender  Rappel Rack

Sumber: BASARNAS, 2009

3) Descender autostop

Gambar 2.20. Descender Autostop

Sumber: http://www.libo.com.ar/galeria_camp.asp

  1. Ascender
    1. Definisi

Ascender adalah alat bantu yang digunakan untuk memanjat dengan menggunakan tali sebagai jalur utama.

  1. Spesifikasi

Spesifikasi ascender adalah

1)      Sistem Kerja Ascender

Gerigi snap gate pada ascender mencengkeram tali, gerigi ini menahan saat terbebani dan bergerak saat didorong ke atas tanpa beban. Kekuatan ascender hanya bergantung pada gerigi yang menahan cengkeraman saat kontak dengan tali.

2)      Kriteria

Kriteria memilih ascender yang cocok untuk ascent system adalah ascender yang mudah digunakan, memiliki pembebanan yang sederhana terhadap tali, CAM mudah dibuka dan mampu menahan beban berat  tanpa merusak tali.

3)      Jenis ascender

Ascender terbagi dua macam, yaitu

a) Ascender Handle, contohnya Jumar, CRT, CMI, Explorer

b)      Ascender non Handle, contohnya Croll,Basic, CRT, CML,CAM (GIB)

Gambar 2.21. Jenis-jenis Ascender

Sumber: BASARNAS, 2009

4)      Kelemahan

Kelemahan ascender terletak pada per pada snap gate gerigi ascender yang berfungsi sebagai penahan cengkeraman, saat per sudah kehilangan fleksibilitasnya maka ascender tersebut tidak layak lagi untuk digunakan.

5)      Perawatan

Cara perawatan pada ascender adalah sebagai berikut

a)      Jangan membenturkan ascender pada benda yang keras

b)      Membersihkan ascender setelah digunakan

c)      Menggunakan ascender sesuai dengan kekuatan yang direkomendasi dari pabrik

6)      Kekuatan

Kekuatan rata-rata ascender adalah sekitar 650-800 kg.

  1. Pulley
    1. Definisi

Pulley adalah katrol

  1. Fungsi

Fungsinya untuk mengurangi friksi tali. Digunakan untuk kegiatan Mechanical advantage System, pengganti arah kerja tali dan untuk pergerakan tali secara horizontal atau diagonal.

  1. Karakteristik

Karakteristik pulley adalah sebagai berikut

1)      Sheave mempunyai diameter minimal 4 kali diameter tali.

2)      Check plate dapat memutar pulley, dapat dipasang di atas tali pada beberapa titik tanpa ada yang merusak tali. Check plate berfungsi memperpanjang melewati sudut shave untuk melindungi tali dari abrasi.

3)      Axle akan berputar, tidak akan merobek tali, alat lain atau menggoncang.

4)      Bearing dikonstruksi untuk memudahkan sheave berputar bebas saat terbebani

5)      Kekuatan rata-rata melebihi 1500 kg.

Gambar 2.22. Komponen Pulley

Sumber: BASARNAS, 2009

6)      Pulley khusus. Lebar hg pulley dirancang untuk memudahkan simpul double fisherman melewatinya.

Gambar 2.23. Pulley

Sumber: BASARNAS, 2009

  1. Perawatan

Sebelum digunakan, pulley harus diperiksa terlebih dahulu untuk meyakinkan bahwa kondisi pulley baik dan tidak merusak tali.

  1. 8. Edge Rollers
    1. Fungsi

Fungsinya adalah untuk memberikan perlindungan pada tali dengan mengurangi friksi selama pengangkatan saat tali melewati sudut yang sangat besar atau dari gesekan benda tajam.

  1. Jenis-jenis

Beberapa jenis edge rollers diproduksi untuk penggunaan lingkungan yang berbeda, yaitu

1) Single unit rollers

2)      Roof rollers. Umumnya memiliki dua shave.

Gambar 2 24. Edge Rollers

Sumber: BASARNAS, 2009

  1. Tandu

Fungsinya adalah sebagai alat bantu mengamankan korban saat dipindahkan. Yang digunakan pada pertolongan di vertical adalah tandu Basket (Basket strechers)

Gambar 2.25. Tandu

Sumber: http://img.en.china.cn

10.  Penerangan

Penerangan yang digunakan adalah penerangan portable. Ditambahkan lampu pada helmet penolong yang digunakan pada operasi malam hari.

2.3.1.2. Peralatan Perorangan

Kebutuhan peralatan yang perlu dipertimbangkan sebagai kebutuhan keselamatan minimum untuk vertical rescue adalah sebagai berikut: 2

  1. 1. Helmet
  2. Sarung tangan (gloves)
  3. 3. Boots
  4. Pakaian
  5. Harness
  6. Peluit
  7. Sel rescue equipment (ascending dan descending)
  8. Kotak pertolongan pertama

2.3.1.3. Kekuatan Peralatan

Yang perlu diperhatikan tentang kekuatan peralatan yang digunakan adalah: 2

  1. Nilai kekuatan yang memenuhi standar yang ditentukan dapat dilihat pada alat itu sendiri atau pada petunjuk yang dikeluarkan oleh pabrik.
  2. Beban keseluruhan harus dibawah nilai kekuatan peralatan yang digunakan.

2.3.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam High Angle Rescue adalah tali.2

  1. Definisi

Tali adalah serat yang dirajut sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan tertentu sesuai dengan diameternya.2

  1. Fungsi

Sebagai pendukung utama saat mengevakuasi korban dari lingkungan vertical.2

  1. Type

Tali rescue yang banyak digunakan adalah syntetis fyber kermantel dan pita/webbing.2

  1. Kernmantel

1)      Definisi

Istilah kernmantel berasal dari campuran bahasa jerman, yaitu “Kern/core” yang berarti inti, dan “mantel” yang berarti sarung/selimut. 2

2)      Konstruksi Kernmantel

Konstruksi kernmantel terdiri dari kern atau core (inti) yang dirancang mampu menahan beban. Core (inti) dilindungi oleh tenunan atau anyaman yang membantu menahan sebagian kecil beban. Konstruksi yang menguntungkan adalah tali yang kuat dan tahan dari kerusakan, ringan dan mudah dipegang. Core dan mantel dirancang tahan terhadap putaran.2

3)      Type dasar Kernmantel

Type dasar tali kermantel adalah 2

a)      Tali Kernmantel Dinamik

Kelenturan dan kemoloran dibuat dengan elastisitas atau keregangan yang sangat tinggi yang dapat menahan beban kejut yang tinggi. Kemolorannya mencapai 60 % beban berhenti. Fungsi mantel adalah untuk melindungi tali terhadap kerenggangan tali dan penambahan sedikit kekuatan.

Keuntungannya adalah tali mempunyai kemampuan yang tinggi untuk menahan kejut terhadap orang yang jatuh. Kerugiannya adalah kerenggangan yang sangat tinggi cenderung bermasalah ketika digunakan untuk descending, ascending atau rappelling. Tali dinamik tidak digunakan dalam sistem High angle Rescue.

b)      Tali Kernmantel Statik

Tali dirancang dengan kemoloran yang rendah. Kemoloran normal sekitar 3 % dengan berat kurang lebih 60 kg dan tidak lebih 20% breaking load. Kerenggangan tali statik sangat rendah dan tidak menahan kejut.

Tali statik cenderung bersarung tebal untuk melindungi inti (core). Pembungkus yang tebal menambah kontribusi terhadap total kekuatan tali, tetapi menghasilkan tali kaku dan agak menyulitkan untuk pembuatan simpul.

Keuntungannya adalah kerenggangan rendah, tahan terhadap abrasi dan gangguan lumpur atau pasir yang dapat merusak inti dan memiliki kekuatan menegang yang tinggi. Kerugiannya adalah tali tidak menahan kejut dan kaku sehingga agak sulit untuk pembuatan simpul.

Gambar 2.26. Tali Kernmantel Statik

Sumber: BASARNAS, 2009

4)      Perawatan dan Pemeliharaan

Perawatan dan pemeliharaan kernmantel adalah sebagai berikut: 2

a)      Hindari pemotongan tali kecuali kalau memang mengharuskan

b)      Jangan meninggalkan ikatan pada saat penyimpanan tali

c)      Hindari gumpalan di ujung tali

d)     Gunakan ukuran yang tepat di pulley

e)      Hindari hentakan tiba-tiba atau ketegangan yang terlalu kuat pada tali

f)       Hindari terkena lompatan batu atau terinjak

g)      Hindari melewatkan tali pada tikungan yang tajam atau permukaan kasar

h)      Tali yang ditarik di lumpur pasir atau kerikil harus dicuci setelah dipergunakan dengan air yang mengalir

i)        Jangan mengeringkan tali dengan api atau sumber panas lain

j)        Simpanlah tali dalam kantong

k)      Tali yang cacat atau rusak harus diberi label

l)        Jangan menempatkan tali terkena sinar matahari langsung dalam waktu lama

m)    Tidak tersentuh dengan bahan yang mencemarkan seperti lemak, gemuk, oli, minyak, bensin, minyak hydraulic, zat asam, dan bahan kimia.

5)      Pencucian

Cara pencucian kernmantel adalah sebagai berikut: 2

a)      Tali harus dicuci ketika kotor untuk mengurangi dampak abrasi dari pasir saat digunakan dengan peralatan abseiling atau ascending. Tali dapat digulung rantai sebelum kusut.

b)      Tali polymide dapat dicuci dengan mesin cuci, tetapi mesin harus di stel dingin atau hangat (tidak pernah dalam kondisi panas)

c)      Setelah dicuci tali dapat ditarik dengan agak kuat, kemudian gunakan descender untuk mengeluarkan air dan keringkan di udara, di area yang sejuk dengan ventilasi yang baik.

6)      Pemeriksaan

Seluruh tali rescue harus diperiksa sebelum, selama dan setelah digunakan. Pemeriksaan meliputi penilaian secara visual dan merasakan dengan teliti. 2

a)      Penilaian visual, caranya adalah: 2

  • Warna filamen yang memudar
  • Lembek
  • Filament putih, dimana sarung telah rusak
  • Ukuran tidak seragam
  • Terkikis

b)      Penilaian rabaan, caranya adalah: 2

  • Filamen kaku
  • Perubahan ukuran
  • Kontaminasi

Pengetesan beban pada tali tidak direkomendasikan untuk praktek keselamatan. 2

7)      Pengafkiran Penggunaan Tali

Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memutuskan pengafkiran tali adalah sebagai berikut: 2

a)      Terkikis

b)      Beban lebih

c)      Kontaminasi

d)     Perbedaan ukuran

e)      Susunan mantel

f)       Sarung tertembus

8) Packing

Beberapa teknik yang cocok untuk packing tali rescue adalah sebagai berikut: 2

a)      Coiling. Tali yang panjangnya tidak lebih dari 50 m dapat dengan cepat digulung dan diakhiri dengan kuncian balik seperti digambarkan di bawah ini. Sebagai catatan, coiling tali akan kusut bila tidak hati-hati melepaskannya.

Gambar 2.27. Packing Tali Teknik Coiling

Sumber: BASARNAS, 2009

b)      Hanking. Packing tali dengan cara Hanking adalah sebagai berikut. Genggam tali sekitar 2 m dari ujung yang satu dan ukuran lengan penuh berisi tekukan tali yang ditempatkan di tangan. Selanjutnya sampai 4 meter dari ujung, pegang 2 meter berikutnya tumpangkan, bendel tali di tangan dan julurkan tangan ke depan. Dengan menyisakan 2 meter tali, tekan ikat langsung melingkar masukkan ke lobang tangan (di antara pegangan dan ikatan tali ganda), membalikkan gulungan seperti kepala dan mengencangkan ikatannya.

Gambar 2.28. Packing Tali Teknik Hanking

Sumber: BASARNAS, 2009

c)      Chaining/Ikatan Rantai. Teknik ini digunakan pada tali yang panjang untuk mengurangi waktu packing tali. Teknik ini dapat digunakan ketika mencuci tali di dalam mesin pencuci atau untuk penyimpanan. Tali dapat dirantai dengan satu tali, dua tali atau empat ganda seperti gambar di bawah ini.

Gambar 2.29. Packing Tali Teknik Chaining

Sumber: BASARNAS, 2009

d)     Memasukkan tali ke dalam karung. Ini adalah metode yang istimewa dan memuat tali yang panjang dan mencantumkan nama. Tali dimasukkan ke dalam pack dan memadatkan dengan hati-hati.

9)      Cord atau prusik

Cord atau prusik adalah tali kernmantel yang memiliki diameter kurang dari 9 mm, pada umumnya memiliki kontruksi statik untuk aplikasi yang cukup luas. Cord digunakan dalam vertical rescue dalam berbagai fungsi, seperti untuk prusik loop, tali tambatan plate, pengikat edge roller atau pengikat matras tali utama. 2

10)  Proteksi

Tujuan proteksi adalah untuk melindungi tali dari benturan, sudut yang tajam, tidak ada perawatan dan friksi. Proteksi dapat dilakukan dalam banyak cara, salah satunya dengan membawa perlengkapan seperti matras, canvas fire hose dan edge rollers.2

a)      Matras

Gambar 2.30. Matras

Sumber: BASARNAS, 2009

b) Canvas Fire Hose

Gambar 2.31. Canvas Fire Hose

Sumber: BASARNAS, 2009

c) Edge Rollers

Gambar 2.32. Edge Rollers

Sumber: BASARNAS, 2009

  1. Pita

1)      Definisi

Pita atau webbing adalah salah satu peralatan yang serbaguna untuk rescuer. Digunakan untuk pengikatan atau menyambung sling, dan sesuai aplikasi oleh imajinasi rescuer. 2

2)      Fungsi

Fungsi pita adalah sebagai berikut: 2

a)      Sling

b)      Improve harness

c)      Pengaman

d)     Lashing

e)      Foot lop climb

f)       Foot step

3)      Kontruksi

Konstruksi pita terbagi dua, yaitu: 2

a) Plat

b) Tobular

4)      Karakteristik

Karakteristik pita  dapat dipengaruhi oleh konstruksi kekuatan, kemuluran, kemampuan menahan abrasi, dan kemampuan menahan ultra violet. Semua faktor ini dipengaruhi fier yang digunakan dan kekuatan tenunan yang bagus. Pita yang memiliki tenunan yang keras akan memiliki kekuatan yang lebih baik. Secara umum, pita rescue yang bagus fleksibel untuk semua faktor. 2

5)      Ukuran

Lebar pita polymide diukur pada bagian  flat. Pita  yang biasa digunakan memiliki lebar 25 mm dan 50 mm. Ukuran pita yang kecil mungkin digunakan untuk berbagai teknik yang khusus, tetapi tidak cocok atau aman untuk kerja recue secara umum. 2

6)      Pengkikisan

Pada umumnya, penggunaan pita lebih cepat daripada tali karena pita tidak dilengkapi sarung sebagai proteksi. Sebagai catatan, pita tidak boleh digunakan dalam kegiatan rescue jika kualitas atau kondisinya diragukan. 2

7)      Kekuatan

Dalam kegiatan rescue, pita yang digunakan hanya pita yang memiliki kekuatan 1500 kg. 2

8)      Aplikasi Pertolongan khusus

Pita umumnya digunakan dalam bentuk jahitan atau ikatan sling untuk semua anchore, improvisasi harness, sling korban, dan pengikatan lain. Selama operasi pertolongan, mungkin akan dijumpai pita yang sangat panjang yang dibutuhkan untuk anchore atau pengikatan. 2

9)      Keamanan

Poin-poin pengamanan yang berkaitan dengan peralatan pita adalah sebagai berikut: 2

a)      Jangan mengalungkan pita di leher

b)      Saat sling dibawa bekerja, lebih baik dikaitkan pada seat harness atau melintang di sisi leher dan ketiak

c)      Simpul harus secara berkala dicek apakah ada tanda-tanda terlepas atau terbuka dan mengikatkan kembali dengan benar atau potong dan ikat kembali jika dibutuhkan. Sisakan tali minimal 100 mm dari ujung pita sebagai pengaman dengan mengunci atau pengikatan akhir untuk menambah keamanan.

d)     Semua webbing harus diperiksa secara berkala dan cermat. Pita tubular lebih baik digunakan untuk kegiatan rescue..

e)      Gunakan pita tubular

10)  Perawatan

Perawatan pita sama dengan perawatan tali. 2

2.4. Teknik High Angle Rescue

2.4.1. Teknik Ascending

2.4.1.1.Definisi

Ascending adalah teknik/kegiatan untuk pemanjatan suatu tempat dengan menggunakan tali sebagai jalur naik. 2

2.4.1.2.Teknik Ascending

Terdapat 3 teknik ascending, yaitu: 2

  1. 1. Ascend Friction Knot
    1. Definisi

Ascend Friction Knot adalah teknik pemanjatan melalui tali dengan mengandalkan friksi yang tercipta oleh tali itu sendiri.

  1. Peralatan

Peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut

1)      Tali utama minimal berdiameter 11 mm

2)      Tali prusik berdiameter 6-7 mm

3)      Seat Harness

  1. Prosedur Pemasangan

Prosedur pemasangan Ascend Friction Knot adalah sebagai berikut

1)      Prusik disimpulkan pada tali utama

2)      Tali prusik pertama disimpulkan di seat harness dan tali prusik kedua digunakan sebagai pijakan (kaki)

3)      Rescuer bergerak bergantian antara badan dan kaki, saat prusik menahan beban badan maka prusik untuk kaki dinaikan bersama dengan kaki, saat tumpuan di kaki maka prusik yang terbebani badan didorong naik ke atas, demikian seterusnya

4)      Saat beban berada di badan berarti posisi duduk, maka saat inilah digunakan untuk istirahat

  1. Simpul Yang Digunakan

1)      Prusik Knot

Gambar 2.33. Teknik Ascent Friction Knot Tipe Prusik Knot

Sumber: BASARNAS, 2009

2) Kelmhest Knot

3)      Bachman Knot, cara pembuatannya adalah sebagai berikut

a)      Carabiner dimasukkan ke dalam loop

b)      Carabiner dihimpitkan ke tali utama

c)      Tali dililitkan pada tali dan carabiner yang terhimpit tadi mulai dari atas ke bawah

d) Sisa loop dipasang carabiner, kemudian kaitkan dengan seat harness

  1. 2. Ascent Mechanical System
    1. Definisi

Ascent Mechanical System adalah kegiatan pemanjatan melalui tali dengan memanfaatkan peralatan sebagai alat bantu naik

  1. Peralatan

Peralatan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut

1)      Tali sebagai jalur

2)      Seat harness dan chest harness

3)      3 buah carabiner

4)      Ascent sling

5) Croll

6)      Ascender handle

  1. Prosedur

1)      Persiapan

a)      Gunakan seat harness dan chest harness

b)      Pasang crool pada chest harness dan hubungkan ke seat harness

c)      Buat ascend sling dan kaitkan pada ascender handle, dan loop untuk safety dikaitkan ke seat harness

2)      Pengoperasian

Pengoperasian Ascent Mechanical System adalah sebagai berikut

a)      Pasang crool pada tali utama

b)      Pasang ascender handle yang sudah terkait dengan ascend sling ke tali utama

c)      Tarik tali utama dari bawah sampai rescuer tergantung pada tali

d)     Saat tubuh tergantung pada crool, geser ascender handle ke atas secukupnya, kemudian berdiri, saat berdiri crool akan terbawa ke atas. Duduk kembali, dorong ascender handle ke atas, berdiri dan duduk kembali, dorong ascender ke atas, dan seterusnya.

Gambar 2.34. Teknik Ascent Mechanical Sistem

Sumber: BASARNAS, 2009

3)      Pergantian dari Ascend ke Descend

  1. Pemanjatan

2.4.2. Teknik Descending

2.4.2.1. Definisi

Descending adalah kegiatan turun dengan menggunakan tali sebagai jalur lintasan, laju pergerakan turun memanfaatkan friksi dari descender. Descending disebut juga dengan abseiling atau rappelling. 2

2.4.2.2. Perlengkapan

Perlengkapan yang dibutuhkan pada descending adalah sebagai berikut: 2

  1. Tali kernmantel minimal diameter 11 mm (utama)
  2. Tali kedua untuk safety minimal diameter 11 mm
  3. Seat harness
  4. Carabiner
  5. Descender (figure of 8, autostop, carabiner)
  6. Sarung tangan
  7. 7. Helm

2.4.2.3. Prosedur Descending

Dalam melakukan abseiling/rappelling, usahakan posisi badan tegak lurus dengan tebing/dinding dan jangan terlalu cepat bergerak bila tidak dibutuhkan.

Prosedur descending adalah sebagai berikut: 2

  1. Cek anchor dan tali yang akan digunakan
  2. Cek harness, pastikan semua sudah terkunci
  3. Sebelum memasang tali utama, pastikan keamanan anchor point terlebih dahulu
  4. Pasang tali pada descender
  5. Kaitkan descender ke seat harness
  6. Yakinkan bahwa tali tidak menyimpul
  7. Yakinkan bahwa semua sudah aman
  8. Cek pengereman (menggunakan tangan kanan atau kiri)
  9. Pastikan bahwa tali sampai ke bawah/dasar

10.  Lihat pijakan berikutnya

11.  Mulailah turun dengan gaya beban pada badan dan gaya tolak pada kaki

12.  Jangan sekali-kali melepaskan tangan yang berfungsi sebagai pengereman

Gambar 2.35. Pengereman Teknik Descending

Sumber: BASARNAS, 2009

2.4.2.4.Prosedur Keselamatan

Prosedur keselamatan pada kegiatan descending ini adalah: 2

  1. Setiap personil harus melakukan pengecekan sebelum turun rappelling
  2. Saat penurunan, orang pertama adalah menjadi tumpuan bagi yang lain, oleh sebab itu harus yakin tali menjadi dasar tanpa ada halangan, tidak ada bagian tali yang cacat dan perlu diingat bahwa tidak ada belayer di bawah.
  3. Sebelum melakukan perubahan dari naik ke turun atau sebaliknya, yakinkan bahwa semua sudah aman
  4. Tali yang melewati tempat yang tajam harus diberi alas untuk menghindari kerusakan pada tali.

2.4.2.5.Komunikasi

Prosedur Pemanggilan pada teknik descending adalah sebagai berikut: 2

Aba-aba Pemanggil Arti
Tali Siap

Siap

Turun

Stop

Clear

Pull

Rescuer

Belayer

Rescuer

Setiap orang

Rescuer

Rescuer

Rescuer menanyakan kesiapan tali ke belayer

Jawaban belayer ke rescuer

Rescuer mulai bergerak

Melihat adanya masalah/bahaya

Pemberitahuan bahwa tali sudah tidak digunakan

Rescuer ke belayer minta untuk menarik tali, rescuer ada masalah

Tabel 2.1. Prosedur Pemanggilan pada Teknik Descender

Sumber:

2.4.2.6.Perubahan Descend menjadi Ascend

Prosedur perubahan descend menjadi ascend adalah sebagai berikut: 2

  1. Stop dan kunci descender yang digunakan
  2. Hubungkan ascender atau prusik loop dari seat harness ke tali utama
  3. Cek ascender apakah sudah aman atau belum
  4. Yakinkan rescuer sudah bergantung pada ascender
  5. Lepaskan descender
  6. Pasang Crool/prusik kedua
  7. Yakinkan bahwa semua sudah aman
  8. Rescuer dapat memulai pergerakan ke atas

2.4.3. Teknik Lowering

2.4.3.1.Definisi

High angle Lowering, disebut juga dengan Vertical Lowering atau Technical Lowering, adalah penurunan yang dikontrol oleh rescuer dengan menggunakan tali. 1,2

2.4.3.2.Sistem Lowering

Elemen-elemen sistem Lowering adalah sebagai berikut: 1

  1. Beban/Load

Beban meliputi korban yang terpasang di tandu. Alasan penggunaan tandu adalah karena pertimbangan medis dan memperhatikan korban agar tetap nyaman. Tandu umumnya diturunkan dengan posisi horizontal (kecuali pada confine space, tandu dalam posisi vertical dengan kepala di atas). Penurunan korban tanpa didampingi oleh Litter tender (sendiri) jika hasil evaluasi dinyatakan bahwa korban tidak cidera serius atau jika hanya cidera ringan, dalam kasus ini korban dapat dikaitkan langsung ke descender.

  1. Litter Tender

Litter tender adalah rescuer yang mengawal korban, terdiri dari satu orang atau dua orang, tergantung pada situasi. Masing-masing litter tender dikaitkan ke tandu dengan sedikitnya 2 kaitan tali utama dan safety.

  1. 3. Spider/Bridle

Spider atau bridle adalah gantungan tandu yang berfungsi sebagai penghubung tandu ke main rope. Beberapa poin tali dihubungkan pada tandu dan semua dihimpun dan dikaitkan pada main rope. Spider umumnya mempunyai empat kaki, atau 6 kaki tergantung pada kondisi.

  1. Tali Utama Penurunan (Main rope)

Tali untuk penurunan harus memperhitungkan faktor keselamatan saat beban diturunkan. Beberapa sistem lowering hanya mempunyai  satu tali utama dengan satu belay atau dengan dua tali utama, tergantung kebutuhan.

  1. Sistem Belay

Sistem belay adalah tali yang dihubungkan ke beban dan berfungsi sebagai safety terhadap kemungkinan tali utama gagal atau putus.

  1. Brake device

Brake device adalah peralatan yang digunakan untuk mengatur laju turunnya beban dengan cara membuat friksi tali, alat ini sama prinsipnya dengan peralatan rappelling.

  1. Brakeman

Brakeman adalah rescuer yang bertugas mengontrol kecepatan turunnya korban dan rescuer dengan menggunakan brake device.

  1. Rope Handler

Rope handler adalah rescuer yang membantu brakeman bertugas menjaga agar tali tetap lurus tidak berkelit.

  1. Belayer

Belayer adalah orang yang mengontrol belay rope, hal ini menjaga terhadap kemungkinan tali utama gagal.

10.  Edge tender

Edge tender adalah rescuer yang bertugas membantu litter tender saat melewati sudut agar tidak langsung terjatuh, mencegah tali terkikis pada bagian sudut, kalau perlu sebagai komunikator antara litter tender dan brakeman.

Gambar 2.36. Elemen Dasar Sistem Lowering

Sumber: BASARNAS, 2007

2.4.3.3.Sistem Braking untuk Penurunan

Pada dasarnya peralatan untuk high angle lowering sama dengan peralatan rappelling seperti figure of eight, brake bar, auto stop, dan ID (inpanic descend). Perbedaan antara lowering dan rappelling adalah pada saat lowering, brake device tetap dan tali yang bergerak sedangkan pada rappelling, tali tetap dan brake device yang bergerak. 1,2

Gambar 2.37. Sistem Pengereman Teknik Descending

Sumber: BASARNAS, 2007

2.4.3.4.Belaying untuk Sistem Lowering

Dalam sistem lowering, belay berada pada anchor point yang terpisah dari sistem tali utama. Main line dan sistem belay harus terpisah, dua elemen ini jangan disatukan, tujuannya untuk menghindari tali saling menyilang, tetapi harus selalu diperhitungkan belayer akan cukup untuk mencegah bahaya saat terjadi fail (kondisi fatal) pada tali utama. 1

Beban belay pada operasi penurunan tidak terhentak beban seperti jatuhnya climber yang sedang berlatih. Tetapi operasi penurunan mempunyai berat yang lebih besar kemungkinan sampai 3 rescuer. Anchor untuk belay harus mampu menahan beban berat penolong, ditambah kekuatan hentakan berat beban. Belayer harus menggunakan peralatan belay dan memungkinkan belayer untuk menghentikan laju beban. 1

Pada sistem lowering, belayer tidak akan pernah menggunakan pinggang untuk belay atau mem-belay dengan menggunakan friction bagian tubuh lain dan menempatkan tubuhnya sebagai lintasan dalam sistem belay pada pertolongan penurunan. 1

2.4.3.5.Komunikasi pada Teknik Lowering

2.4.3.5.1. Komunikasi Radio

Radio dibutuhkan untuk berkomunikasi jika jarak terlalu jauh. Komunikasi ini dibutuhkan untuk menyampaikan informasi tentang kondisi medis korban dan langkah-langkah yang akan dilakukan. 1

Menggunakan ikat pinggang dan radio dicantolkan dapat menimbulkan masalah saat melakukan operasi lowering karena: 1

  1. Mengganggu penggunaan seat harness dan pemakaian alat saat dibutuhkan.
  2. Membutuhkan tempat yang luas untuk pergerakan tangan
  3. Radio dapat jatuh

Solusi permasalah ini adalah dengan menggunakan belt dada yang dilengkapi kantong radio, keuntungannya adalah: 1

  1. Berdekatan dengan wajah, tidak butuh area yang luas untuk pergerakan tangan
  2. Area dada bebas dari harness
  3. Sangat praktis saat akan digunakan

2.4.3.5.2. Komunikasi Suara

Komunikasi langsung dapat lebih meyakinkan kedua belah pihak, dimana komunikasi pada dasarnya adalah perhatian untuk keselamatan korban dan penolong serta untuk suksesnya operasi. Hindari kebingungan yang membahayakan, oleh sebab itu dalam berkomunikasi perlu standar perintah, contoh: 1

PERINTAH PEMANGGIL
On Belay Litter tender ke Belayer
Belay On Belayer ke Litter tender
Down Slown/Down Fast Litter tender ke Brakeman
Stop Biasanya Litter tender ke Brakeman, tetapi mungkin diberikan oleh siapapun yang melihat adanya potensi bahaya
Off Belay Litter tender ke Belayer, tandu, korban dan Litter tender sudah sampai di dasar atau posisi aman dan tidak ada bahaya jatuh
Belay Off Belayer ke Litter tender, Belayer membebaskan tali
Slack Litter tender ke Brakeman atau Belayer permintaan agar tali dikendorkan
Tension Litter tender ke Brakeman atau Belayer, permohonan agar tali dikencangkan
Off Rope Litter tender ke Brakeman, permohonan supaya tali dimatikan

Tabel 2.2. Prosedur Pemanggilan pada Teknik Lowering

Sumber: BASARNAS, 2007

2.4.3.6.Penurunan Satu Orang dengan Menggunakan Figure of eight

2.4.3.6.1. Penguncian

Ketika rescuer berteriak “stop”, brakeman menahan tali dengan kuat, tidak ada pergerakan turun. Belayer mempertahankan status “on belay”. 1,2

Jika rescuer menghendaki berhenti agak lama, maka brakeman harus menguncinya dan figure 8 descend yang digunakan sebagai Brake device. Pertama tetap pegang dan tahan dengan kuat, kemudian putar melalui bagian depan antara brakeman dan rescuer. Bagian tali luar yang telah dipegang kuat dimasukkan atau dijepitkan di antara main rope dan bagian besar figure 8 descender, dengan adanya bagian tali yang terjepit beban sudah tidak bisa turun. 1,2

Untuk lebih meyakinkan, bagian tali yang sudah terjepit lingkarkan di bagian leher figure 8 descender dimana talinya membentuk bight, tarik bight agak panjang kemudian ikatkan pada bagian tali yang tegang di depan figure 8 descender, dengan simpul Overhand knot. 1

. Gambar 2.38. Pengereman Teknik Lowering

Sumber: BASARNAS, 2007

2.4.3.6.3. Pelepasan Penguncian

Untuk melepaskan kuncian harus dilakukan dengan hati-hati dan hindari terjadinya kejutan, buka Overhand knot dengan perlahan, putar bight dari bagian leher figure 8 descender, pegang dan tarik kuat ke arah depan figure 8 descender untuk melepaskan jepitan dan posisi tetap bertahan. 1

Setelah kuncian terlepas, rescuer akan meminta untuk menurunkan dengan mengatakan “down slow” atau “down fast”. Breakman akan menurunkan sesuai dengan kecepatan yang dikehendaki oleh rescuer. 1

2.4.3.7.Praktek Lowering pada Permukaan Vertical

2.4.3.7.1. Penggunaan Anchor Overhead

Evakuasi sistem lowering yang paling menguntungkan adalah apabila memperoleh anchor overhead karena akan mempermudah rescuer melakukan pergerakan turun dan dapat mudah menghindari bagian yang tajam dari permukaan yang akan dilalui. 1

Sesuatu yang perlu diingat bahwa setiap personil yang bekerja di ketinggian harus mengamankan dirinya sebelum bekerja dengan mencantolkan seat harnessnya ke anchor point. 1

Proses teknik lowering dengan menggunakan anchor overhead adalah sebagai berikut: 1,2

  1. Buat anchor sling di bagian atas dan cantolkan Pulley di anchor sling dengan menggunakan carabiner lock, pulley di sini berfungsi sebagai alat bantu penyalur tali yang akan dibebani. Masukkan tali utama dan ujungnya diberi simpul 8 on bight untuk dihubungkan ke rescuer dan korban
  2. Buat anchor sling yang terpisah dari anchor utama untuk digunakan belayer. Figure 8 descender dihubungkan dengan carabiner lock sebagai belay device, tali belay atau safety line dibuat bight dimasukkan ke ring besar figure 8 descender, seperti teknik pemasangan rappelling.
  3. Buat anchor di bagian dalam, dimana posisi aman untuk kerja brakeman. Anchor sling yang cukup kuat dihubungkan dengan figure 8 descender dengan carabiner, kemudian masukkan main rope ke ring besarnya untuk mengatur laju pergerakan rescuer dan korban.
  4. Ketika rescuer persis di bagian sudut yang tajam maka pemasangan edge roller diperlukan untuk melindungi tali agar tidak abrasi.
  5. Ketika rescuer akan mencantolkan setiap ujung tali yang sudah disimpul ke seat harnessnya, rescuer akan mengatakan “on belay”, belayer dan brakeman segera memberi respon dengan bersiaga di masing-masing tali yang akan digunakan.
  6. Setelah semua siap. Rescuer teriak “down slow”, brakeman mengendorkan dengan perlahan dan rescuer bergerak turun jalan ke belakang. Sedangkan belayer mengikuti dengan kondisi tali yang kendor.
  7. Saat melalui bagian yang tajam, rescuer mengatakan “stop”, brakeman segera mengunci talinya dan rescuer segera memasang alat atau alas untuk melindungi tali.
  8. Ketika mencapai tanah atau posisi lain yang aman, rescuer meneriakkan “stop” dan brakeman akan menghentikan pergerakan tali di figure 8 descender. Jika tali penurunan terlalu kencang, rescuer akan melepaskan dan meneriakkan “slack” sehingga brakeman akan mengendorkan tali. Belayer tetap mempertahankan posisinya sampai semua dinyatakan beres. Setelah selesai, rescuer akan meneriakkan “off belay” dan  belayer menjawab dengan “belay off”.
  9. Jika tugas telah selesai dan tali akan digunakan lagi, rescuer melepaskan tali dan member isyarat “off rope” kepada Brakeman dan brakeman menarik tali ke atas dan melepaskannya dari anchor.

2.4.3.7.2. Penggunaan Anchor In Side

Proses teknik lowering dengan menggunakan anchor in side adalah sebagai berikut: 1,2

  1. Membuat anchor point untuk main rope yang dilengkapi dengan figure 8 descender yang dicantolkan dengan carabiner ke anchor point. Tali utama dibuat bight dan dimasukkan ke ring besar figure 8 descender seperti saat akan rappelling, ujung tali dibuat simpul delapan on bight.
  2. Membuat anchor yang terpisah dari anchor tali utama dan lakukan seperti pemasangan pada tali utama, tetapi fungsinya sebagai belayer.
  3. Perlu hati-hati saat akan keluar dari sudut top. Lakukan seperti rappelling dimana posisi kaki tegak lurus di permukaan, jangan menyudut ke bawah karena akan terpeleset. Pasang edge roller untuk melindungi tali yang akan digunakan yang fungsinya untuk menghindari friksi atau abrasi tali.
  4. Jika rescuer akan menurunkan tandu di sudut top, maka diperlukan bantuan edge tender untuk membantu mangangkat saat di atas sudut top. Edge tender dilepaskan setelah beban tertanggung di tali.
  5. Ketika rescuer akan mencantolkan setiap ujung tali yang sudah disimpul ke seat harnessnya, rescuer akan mengatakan “on belay”, belayer dan brakeman segera member respon dengan bersiaga di masing-masing tali yang akan digunakan.
  6. Setelah semua siap. Rescuer teriak “down slow”, brakeman mengendorkan dengan perlahan dan rescuer bergerak turun jalan ke belakang. Sedangkan belayer mengikuti dengan kondisi tali yang kendor.
  7. Saat melalui bagian yang tajam, rescuer mengatakan “stop”, brakeman segera mengunci talinya dan rescuer segera memasang alat atau alas untuk melindungi tali.
  8. Ketika mencapai tanah atau posisi lain yang aman, rescuer meneriakkan “stop” dan brakeman akan menghentikan pergerakan tali di figure 8 descender. Jika tali penurunan terlalu kencang, rescuer akan melepaskan dan meneriakkan “slack” sehingga brakeman akan mengendorkan tali. Belayer tetap mempertahankan posisinya sampai semua dinyatakan beres. Setelah selesai, rescuer akan meneriakkan “off belay” dan  belayer menjawab dengan “belay off”.
  9. Jika tugas telah selesai dan tali akan digunakan lagi, rescuer melepaskan tali dan member isyarat “off rope” kepada Brakeman dan brakeman menarik tali ke atas dan melepaskannya dari anchor.

2.4.3.8.Spider

2.4.3.8.1. Definisi

Spider adalah ikatan tali atau pita pada tandu. Spider dari tali atau webbing yang langsung diikatkan di rail tandu kurang menguntungkan karena dapat terkikis oleh batuan. Melengkapi tali atau webbing dengan carabiner besar sangat menguntungkan karena mempermudah pemasangan dan lebih aman saat bergesekan dengan bebatuan. Pemasangan carabiner diusahakan agar gate-nya selalu mengarah ke dalam untuk mempermudah saat penguncian. 1

2.4.3.8.2. Cara Pembuatan Spider

2.4.3.8.2.1. Pembuatan Spider dari Kernmantel

Perlengkapan yang dibutuhkan adalah kernmantel dengan panjang sekitar 2 meter dan carabiner. Prosesnya adalah sebagai berikut: 1

  1. Buat simpul pada ujung-ujung dengan simpul 8 on bight
  2. Cantolkan masing-masing simpul dengan carabiner
  3. Bawa keempat simpul figure 8 on bight ujung kaki spider bersama, cantolkan carabiner dan kunci gatenya
  4. Cantolkan carabiner ke dua yang sama dengan carabiner pertama dengan arah berlawanan. Tujuannya sebagai pencegahan keselamatan karena ini merupakan teknik penguncian, apalagi jika tidak menggunakan carabiner screw.

2.4.3.8.2.2. Pembuatan Spider dari Webbing

Perlengkapan yang dibutuhkan adalah satu buah figure 8 descender dan dua buah webbing 4 meter. Cara pembuatannya adalah sebagai berikut: 1

  1. Siapkan figure 8 descender
  2. Ambil bagian tengah tubular webbing, buat bight dan masukkan ke dalam ring besar descender figure 8, kumpulkan ujung-ujungnya dan masukkan ke bight yang keluar dari ring figure 8 descender, tarik dan membentuk simpul jangkar.
  3. Kumpulkan ujung webbing dan tentukan berapa panjang yang dibutuhkan untuk membuat kaki spider, umumnya antara 80-120 cm.
  4. Buat simpul pita pada bagian yang telah diberi tanda
  5. Masukkan bagian pita setelah simpul menuju ujung ke dalam rail tandu, dan buat simpul pita dengan mengikuti simpul pita yang sudah ada.

Gambar 2.39. Spider dari Webbing

Sumber: BASARNAS, 2009

2.4.3.8.3. Spider yang Dapat Diatur

2.4.3.8.3.1. Tujuan

Spider yang dapat diatur dibutuhkan dalam situasi dimana tandu perlu dimiringkan. Salah satu contoh seperti di jurang tidak semuanya vertical, tetapi sedikitnya terdapat terjal. Untuk mengganti sudut ini, dengan mempertahankan tandu dan rescue subyek horizontal, maka litter spider harus dilakukan penyesuaian.1

2.4.3.8.3.2. Peralatan yang Dibutuhkan

Perlengkapan yang dibutuhkan adalah: 1

  1. 2 utas tali kernmantel masing-masing 4 meter.
  2. 4 utas prusik masing-masing 1 meter
  3. 4 buah carabiner srew yang gate besar dapat masuk ke rail tandu

2.4.3.8.3.3. Cara Pembuatan

Cara pembuatannya adalah sebagai berikut: 1

  1. Buat simpul 8 on bight pada bagian tengah kernmantel sebanyak 2 buah.
  2. Akan ada 2 simpul 8 on bight dengan 4 tali bergantung dengan panjang yang sama.
  3. Ikatkan prusik pada tiap-tiap ujung tali kernmantel dan di tengah antara ujung tali dengan simpul 8 on bight. Pengaturannya dengan menggeser simpul prusik.
  4. Cantolkan kedua simpul 8 on bight ke dalam main rope dengan dua carabiner screw dan atur gatenya berlawanan.

Gambar 2.40. Spider yang Dapat Diatur

Sumber: BASARNAS, 2007

2.4.3.9.Pengikatan Tandu untuk Lowering

Tahap-tahap Pengikatan tandu untuk lowering adalah sebagai berikut: 1

  1. Ujung anchor tali utama dipasang carabiner srew. Brake bar dicantolkan di carabiner ini, mata rack mengarah ke depan, dengan lekukan rack dan bagian atas bar, di depan sudut turun.
  2. Ujung sling anchor belay dipasang carabiner srew dan belay device, lintasan tali belay langsung kea lat ini dan ujung belay di ikatkan ke tandu.
  3. Main rope langsung disusun ke brake device dengan ujung tali dihubungkan ke spider
  4. Pengikatan untuk satu orang pengendali, cantolkan/ikatkan ke empat ujung spider ke tandu serta disiapkan pig tail dengan sling safety untuk litter tender.
  5. Ujung tali utama, simpul 8 on bight, pastikan beberapa inch dari tail mempunyai ikatan tunggal dan mengarah ke bawah. Cantolkan semua kaki spider ke simpul 8 on bight dengan dua carabiner srew. Kaitkan pig tail litter tender dengan simpul 8 on bight ke dua  carabiner di ujung tali utama. Kunci dua carabiner dan saling membalik. Kaitkan safety sling untuk litter tendr ke bagian atas tandu.
  6. Hubungkan tali belay ke tandu seperti digambarkan di atas,termasuk pengikatan kedua bagian pada bagian atas spider dan head rail.
  7. Bebani tandu dengan dummy atau beratnya sama atau lebih dari beban satu orang. Ikat dummy atau korban jangan sampai dummy/korban terlepas dari dalam tandu.

Gambar 2.41. Pengikatan Tandu Teknik Lowering

Sumber: BASARNAS, 2009

  1. Kaitan untuk litter tender ke pig tali adalah ascender untuk harness dan ascender untuk pijakan. Litter tender mengaitkan ujung pig tail yang disimpul 8 on bight ke point bagian depan seat harnessnya dengan carabiner screw.
  2. Litter tender juga akan mengaitkannya dengan safety sling ke tandu dekat bagian kepala.

10.  Litter tender mengawali dengan mengatakan “ON BELAY” dan belay menjawab “BELAY ON”.

11.  Sebelum litter tender bergerak di atas sudut, litter tender melakukan pengecekan seluruh system ikatannya.

12.  Setelah pengecekan serta meyakinkan semua anggota tim lowering siap dan konsenterasi penuh, litter tender mengatakan kepada brakemandown slow”. Brakeman memulai mengulur tali, tali bergerak melalui brake devise, rope handler mulai membantu melepas tali yang melilit. Belayer mengontrol tali belay, tali harus tampak kendor. Tali belay jangan sama tegangnya dengan tali utama, tetapi ketegangan yang pas sehingga jika tali utama fail, tali belay menahan beban dengan hentakan yang kecil.

13.  Berada di atas sudut exit turun adalah saat yang paling sulit dalam lowering,hal ini sama seperti ketika akan melakukan rapelling pertama kali. Cara yang paling baik adalah perlahan, tidak tergesa-gesa. Ketika litter tender merasakan tidak seimbang, ia akan berteriak stop, dan memulainya kembali setelah posisinya seimbang. Brakeman dan belayer harus penuh perhatian terhadap apa yang dibutuhkan.

Sebelum melewati sudut, semua system masih terasa ringan. Setelah mempelajari bagian belakang dan bergerak melewati sudut, beban pada brakeman terasa berat, sehingga mengakibatkan friksi dan stress tali semakin tinggi.

14.  Langkah litter tender, kaitkan ke tandu, mundur perlahan ketika di atas sudut exit, tarik tandu ke arahnya, bersandar ke belakang pada system conection tandu, dan memutar. Untuk membuat operasi semulus mungkin, hindari tandu ada hentakan beban.

15.  Brakeman mengulur dengan perlahan seperti saat litter tender bergerak ke belakang di atas sudut exit. Ia bergerak ke belakang, litter tender akan mencoba menahan menarik keluar tali utama, kaki spider, dan ikatannya. Bersandar ke belakang membebani sambungan yang membatunya. Kalau dari atas ke bawah flat, penolong akan terangkat ke atas jeruji tandu terdekat dengannya, dengan tandung miring, kemudian kaki spider tegang. Saat terlihat akan mulai kendor dalam system perlu cepat menanggulangi, peluang mengatakan “stop” kemudian ia mengatur yang kendor. Sekali tandu ada di atas sudut dan tandu serta penolong tergantung di kaitannya, kemudian semua kendor akan keluar dari system.

Gambar 2.42. Posisi Litter tender pada Lowering

Sumber: BASARNAS, 2007

2.4.3.10. Penempatan korban ke dalam Tandu

Prosedur penempatan korban ke dalam tandu akan bergantung pada kondisi medis korban dan lokasi saat akan mem-packing korban. 1,2

  1. Di atas

Sebenarnya pengisian korban ke dalam tandu lebih mudah kalau mengambil tempat di bagian atas, di sini memungkinkan tenaga lebih untuk membantu dan semua anggota tim rescueer berdiri dengan kokoh. Ketika pengisian korban ke tandu menjadi lebih sulit bagi litter tender saat berada di atas sudut. Pada situasi ini, peran  edge tender sangat dibutuhkan untuk membantu.

  1. Di tengah Dinding

Proses memasukkan korban ke dalam tandu saat korban cidera di bagian tengah permukaan dinding merupakan situasi yang cukup sulit dilakukan, hal ini disebabkan karena

  1. Selalu tidak cukup banyak orang (mungkin hanya litter tender)
  2. Dengan rescuer tergantung di harness-nya,mereka mempunyai kesulitan mengungkit, kalau sepenuhnya tergantung bebas (jauh dari dinding) ini menjadi sangat sulit.

Beberapa pendekatan dapat membantu pengisian di tengah permukaan dinding, di antaranya adalah sebagai berikut: 1

  1. Menurunkan tandu dan berhenti sebelum terlalu rendah, ini awal yang baik untuk mencoba dengan tandu agak tinggi, sebab Brakeman dapat selalu mengulur perlahan-lahan. Tetapi kalau mengawali dengan tandu terlalu ke bawah, rescuer mungkin tidak memiliki pilihan lain, dan kernmantel static akan menjadi tegang. Hal ini disebabkan karena mengangkat korban ke atas lebih sulit untuk mengusahakan batas maksimum tandu sama dengan tinggi korban.
  2. Posisi tandu untuk korban (bagian kepala dan kaki dari tandu harus persis dengan posisi korban). Kalau mungkin, membetulkan posisi tandu sebelum mulai bergerak di atas sudut turun, sebaliknya kalau tandu berputar saat penurunan, belay dan tali utama akan menjadi kusut.
  3. Korban harus dicantoli safety line yang dihubungkan ke seat harness-nya sebelum dipindahkan ke dalam tandu. Saat berada di dalam tandu, korban harus aman dengan safety sling dari seat harness-nya yang dikaitkan ke bagian atas spider.
  4. Peran rescuer pembantu (auxiliary tender) sangat dibutuhkan dalam menempatkan korban dalam tandu di tengah dinding penurunan.

Menambah rescuer pembantu (kadangkala sampai tiga orang) mungkin dibutuhkan dengan syarat dapat bekerjasama mengatur tandu dan mempacking korban. Rescuer pembantu turun rappelling di sisi tandu dan membantu beberapa kegiatan, di antaranya adalah: 1

  1. Merespon awal sebelum menurunkan tandu untuk memperoleh gambaran kondisi medic korban dan melakukan perawatan awal.
  2. Membantu litter tender mengangkat tandu di atas sudut turun
  3. Membantu memasukkan korban ke dalam tandu di tengah dinding
  4. Membantu maneuver tandu terhadap hambatan

Gambar 2.43. Rescuer Pembantu

Sumber: BASARNAS, 2007

Walaupun rescuer turun dengan tali yang terpisah dari tali yang digunakan dalam sistem, tali tambatan antara rescuer dan tandu dibutuhkan agar dapat mudah memberikan bantuan. 1

2.4.3.11. Pengamanan Korban

Ketika memberikan pertolongan, usahakan korban menggunakan harness, kemudian hubungkan harness korban dengan carabiner di bagian atas spider. Pengaman ini dimaksudkan agar korban tetap tergantung jika spider fail. Tali pengaman ke korban harus selalu kendor. 1

Gambar 2.44. Spider Tandu Teknik Lowering

Sumber: BASARNAS, 2007

2.4.3.12. Praktek Lowering dengan Tali Utama Ganda

2.4.3.12.1. Definisi

Lowering dengan tali utama ganda adalah praktek lowering yang menggunakan dua tali utama (double strand) dengan dua litter tender yang dikaitkan di tandu. 1

Masing-masing litter tender mempunyai ikatan tersendiri yang dicantolkan pada tali yang terpisah satu sama lain dan masing-masing litter tender lowering dengan satu tali juga dikaitkan dengan safety line yang dihubungkan ke rail tandu. 1

2.4.3.12.2. Tujuan

Tujuan penggunaan Lowering dengan tali utama ganda adalah untuk mengganti teknik lowering dengan tali utama tunggal yang tidak bisa mengatasi permasalahan evakuasi seperti: 1

  1. Penampang yang tidak rata, celah, permukaan vertical banyak hambatan seperti overhang dan jurang. Pada area ini, seorang litter tender sulit mengatur tandu.
  2. Pertimbangan medis atau perhatian lain yang berhubungan dengan pertolongan pada korban yang terlalu besar sehingga sulit jika hanya terdapat litter tender tunggal.
  3. Ketika dibutuhkan untuk mengubah posisi tandu dari posisi horizontal ke vertical dan membalikkan lagi untuk menghindari rintangan di permukaan yang vertical dan tempat yang sempit.

Gambar 2.46. Spider Tandu Teknik Lowering Tali Utama Ganda

Sumber: BASARNAS, 2007

2.4.3.12.3. Spider

Gambar 2.46 memberikan ilustrasi sistem pengikatan dua tali penurunan. Kasus ini terlihat 6 kaki pada spider, tiga di ujung bagian kepala tandu dihubungkan ke satu tali penurunan dan tiga di ujung bagian kaki tandu dihubungkan ke tali penurunan satu lagi. 1

2.4.3.12.4. Komando

Pada lowering system dengan tali ganda, walaupun terdapat dua orang litter tender, namun hanya satu litter tender yang memberikan komando ke brakeman, komando ini dilaksanakan oleh litter tender kepala. 1

2.4.3.12.5. Sistem Brake

Kedua tali yang diturunkan dihubungkan ke brake device dan dikontrol oleh brakeman, ini akan selalu seimbang jika dikontrol oleh satu orang brakeman. Pengontrolan dengan dua orang brakeman dibutuhkan kerjasama yang baik di antaranya keduanya saat mengulur tali. Ketidaksaimbangan ini juga dapat diakibatkan oleh diameter tali yang tidak sama, keruwetan tali saat digunakan dan beban yang tidak sama antara bagian kepala korban dan bagian kaki. Untuk mengatasi hal ini maka litter tender yang memiliki berat badan yang ringan ditempatkan di bagian kepala, sedangkan litter tender yang memiliki berat badan yang berat ditempatkan di bagian kaki. 1

2.4.3.13. Prosedur Keselamatan

Prosedur keselamatan pada teknik lowering tali utama ganda adalah sebagai berikut: 1

  1. Tidak pernah mengikatkan belay line langsung ke korban di dalam tandu. Kalau belay line langsung di kaitkan ke korban, seat harness-nya akan tertarik ke atas selama bergantung, sedangkan beban tetap pada posisinya (tandu dan pengawal).
  2. Ujung tali belay harus selalu berada di bagian kepala tandu, untuk meyakinkan saat tandu bergerak posisi vertical, kepala korban tetap berada di bagian atas.
  3. Safety sling litter tender harus dikaitkan di rail ujung bagian kepala tandu. Sebaliknya jika safety sling dikaitkan di bagian ujung kaki dan tandu bergerak vertical menyebabkan fail pada spider, yang akan terjadi adalah kaitan pig tail penolong akan lepas. Ketika tandu bergerak vertical, pengaman penolong terkait pada ujung bagian kaki tandu, penolong akan tidak berdaya berada di bawah bagian kaki tandu.

2.4.4. Teknik Lifting

2.4.4.1.Definisi

Lifting atau hauling system adalah upaya pertolongan terhadap korban yang berada di jurang atau kedalaman, esensi kegiatan ini adalah bagaimana seorang rescuer dapat mengangkat korban ke permukaan. 1

Mechanical advantage (MA) adalah perbandingan banyak beban yang dapat dipindahkan terhadap kekuatan yang dibutuhkan. 1

Theoretical Mechanical advantage (TMA) adalah Mechanical advantage (MA) dengan faktor pertimbangan friksi dan gesekan terhadap tali. 1

Countre Balance adalah pengangkatan yang dilakukan oleh penolong seorang diri, hal ini dilakukan bila kondisi terpaksa yang dikarenakan tidak ada personil yang lain. Sistem ini memanfaatkan gaya keseimbangan dari beban penolong. 1

2.4.4.2.Prinsip

Prinsip pembuatan Lifting/hauling system ini adalah membuat pekerjaan pengangkatan beban menjadi mudah, aman, dan ringan dengan membagi pekerjaan di sepanjang tali. Prinsipnya sama dengan menggunakan pengungkit yang panjang untuk memindahkan batu yang berat. 1

2.4.4.3.Peralatan

Peralatan minimal yang dibutuhkan pada system Lifting/hauling ini adalah: 1

No Sistem Lifting/Hauling yang Digunakan Jumlah Peralatan Minimal
1 MA 1:1 1 (satu) tali utama

2 (dua) sling

2 (dua) carabiner screw

1 (satu) Cam safety

2 MA 2:1 Sistem Hauling tanpa “Diminishing V 1 (satu) tali utama

1 (satu) tali penarik

1 (satu) pulley

2 (dua) cam (safety dan Haul)

3 (tiga) carabiner

2 (dua) sling

3 MA 3:1 Sistem Hauling “Z” Rig 1 (satu) tali utama

3 (tiga) carabiner

2 (dua) pulley

2 (dua) Cam

2 (dua) sling

4 MA 4:1 Sistem Hauling (system Piggyback) 1 (satu) tali utama

1 (satu) tali penarik, panjang 50 sampai 100 kaki

4 (empat) carabiner screw

2 (dua) pulley

2 (dua) cam

2 (dua) sling

Tabel 2.3. Peralatan Lifting/Hauling System

Sumber:

2.4.4.4. Sistem Kerja

Beberapa rasio mechanical advantage (MA) pada sistim Lifting/hauling adalah sebagai berikut: 1,2

  1. MA dengan rasio 1:1

Evakuasi dengan rasio 1:1 sama dengan proses penggangkatan biasa yang hanya menggunakan satu buah tali tanpa pulley atau dengan menggunaka sebuah pulley seperti gambar 2.47.

Gambar 2.47. Mechanical Advantage Rasio 1:1

Sumber: BASARNAS, 2009

  1. MA dengan rasio 2:1

Pada evakuasi dengan rasio 2:1, rescuer menggunakan sangkutan sebuah pulley dan beban, pulley bergerak bersama beban. Tali ditambatkan di atas pada sebuah anchor, kemudian tali dimasukkan ke dalam sebuah pulley dengan pulley dalam posisi terbalik, ujung tali dikendalikan oleh rescuer. Panjang tali dibutuhkan dua kali lipat, dua tumpuan tali bergerak. Hal ini menghasilkan beban setengah pada anchor dan setengahnya pada penarik, seperti gambar 2.48.

Gambar 2.48. Mechanical Advantage Rasio 2:1

Sumber: BASARNAS, 2009

Penambahan satu pulley bertujuan untuk mempermudah penarikan, tetapi tidak mengubah rasio perbandingan pada MA. Penolong menggunakan 2 pulley, satu pada beban dan satunya ditempatkan di atas kemudian rescuer dapat menarik mendatar sebagai ganti tegak lurus.

Pulley kedua diam terikat pada sling, tertambat pada tambatan kayu atau batu yang kuat atau pada tambatan yang lain. Kondisi ini diperlukan jika tidak ada tempat yang luas untuk berdiri bersama kelompok rescuer di tepi jurang yang curam yang menyulitkan penarikan ke atas, terlebih lagi harus berlawanan dengan gravitasi.

  1. MA dengan rasio 3:1

Sistem MA dengan rasio 3:1 seing disebut “Z Rig” karena berbentuk Z.  Sistem ini menggunakan satu buah anchor poin sebagai anchor pokok yang berada di atas, sekaligus sebagai cantolan pulley, pulley ini tidak bergerak. Kemudian ditambahkan sebuah pulley lagi yang bergerak pada tali pokok untuk ditarik pada poin. Pulley ini bergerak sesuai perjalanan tali. Pulley yang bergerak ini dihubungkan pada cam ascender dengan carabiner. Cam dipasang pada tali utama, tetapi pulley dan cam akan bergerak ditarik ke atas sampai tali habis. Cam akan mencengkeram tali saat pergerakan beban dan penarikan beban ke atas.

Sistem ini menggunakan tiga tumpuan untuk memindahkan beban. Untuk setiap langkah pergerakan, beban ditopang dengan tiga penggerak tali, masing-masing tali kira-kira memikul 1/3 berat beban.

Gambar 2.49. Mechanical Advantage Rasio 3:1

Sumber:

  1. Penggandaan Rasio

Rasio MA dapat ditambah dengan melipatgandakan rasio yang ada, ini disebut juga sistem gabungan. Sebagai contoh, penggabungan MA berrasio 2:1 akan menghasilkan MA berrasio 4:1 dan penggabungan MA berrasio 3:1 akan menghasilkan MA berrasio 6:1.

Pembuatan MA berrasio 4:1 yang berasal dari MA berrasio 2:1 disebut juga dengan Peggiback. Sistem ini mempunyai dua bagian, yaitu Hauling rope untuk penarikan dan main rope sebagai tali yang ditarik dan yang dihubungkan dengan beban atau korban.

MA berrasio 4:1 bisa dimodifikasi dengan penambahan satu pulley dan dua anchor point. Anchor point yang dekat dengan anchor pertama digunakan untuk mencantolkan pulley fix, sedangkan anchor tambahan kedua ditempatkan agak jauh ke belakang untuk anchor poin tali penarik. Rescuer diuntungkan dengan tempat penarikan yang luas.

Gambar 2.50. Mechanical Advantage Penggandaan Rasio

Sumber:

Gambar 2.51. Mechanical Advantage Penggandaan Rasio

Sumber: BASARNAS, 2009

2.4.4.5. Tahap Kegiatan

Tahap kegiatan dalam melakukan pertolongan dan evakuasi terhadap korban yang mengharuskan untuk melakukan pengangkatan antara lain: 1

  1. Merencanakan dengan pertimbangan prediksi kondisi korban yang akan ditolong
  2. Pasang anchor di atas sebagai tumpuan Pulley
  3. Rappelling untuk mengamati kondisi lingkungan apakah masih berbahaya atau tidak dan memberikan pertolongan pertama, dan melaporkan kondisi korban kepada ketua tim.
  4. Meminta bantuan tenaga bantuan bila dibutuhkan
  5. Memasang tali temali sesuai Rising System yang akan digunakan
  6. Masukkan tali pada pulley
  7. Pasang jumar pada sisi tali yang terbebani korban sebagai stopper
  8. Memberi alas untuk menghindari friksi
  9. Mengikatkan korban pada tali yang dilengkapi dengan stopper

10.  Memberi komando siap bila kondisi korban sudah direhabilitasi dan siap diangkat

11.  Pimpinan tim harus selalu mengawasi pergerakan evakuasi

12.  Korban harus bersamaan tim penolong, hal ini untuk menjaga kemungkinan adanya hambatan dalam perjalanan. Rescuer sebagai penyeimbang melakukan ascending.

13.  Bila korban tidak naik, bantu naik dengan cara menarik menggunakan webbing atau mendorong dari bawah

14. Bila masih ada penolong yang berada dibawah harus berupaya naik dengan cara ditarik dari atas atau naik dengan cara Ascend mechanical/prusiking

15.  Lakukan pengecekan akhir terhadap simpul yang digunakan, anchor, carabiner apakah sudah terkunci atau belum, dan peralatan sebelum pengangkatan dimulai.

2.4.4.6. Sikap Penolong

Orang pertama yang berhubungan dengan korban dan yang akan memberikan pertolongan harus meyakinkan korban dengan memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa kehadirannya untuk menolong dan yakinkan bahwa dirinya akan selamat. 1

2.5. Highlines/Tyrolean

2.8.1. Definisi

Highlines disebut juga dengan Tyrolean atau Telphers, adalah lintasan tali yang dibentangkan dari satu titik ke titik lain yang berguna untuk mentransfer korban, rescuer dan perlengkapan lain. 1

Highlines mencakup bentangan tali mendatar menghubungkan dari dua titik yang mempunyai ketinggian yang sama, seperti gambar (1), atau bentangan yang menghubungkan diantara dua titik yang berbeda ketinggian, seperti gambar (2). 1

Gambar 2.52. Bentangan Tali Highliness

Sumber: BASARNAS, 2007

2.8.2. Kegunaan

Beberapa kegunaan Highlines adalah sebagai berikut: 1

  1. Untuk melewati rintangan. Highline dapat digunakan untuk menyeberangi jurang.
  2. Untuk menghindari medan yang berbahaya. Contohnya highline digunakan sebagai jembatan gantung di atas sungai.
  3. Untuk melewati medan yang sulit. Highline digantung di atas medan yang berbatuan besar atau berlumpur yang sangat menyulitkan dan menghemat waktu pemindahan tandu yang berisi korban.
  4. Untuk evakuasi darurat. Highline dapat digunakan untuk evakuasi orang dari daerah bahaya dimana terdapat ancaman cidera atau meninggal, dan dimana tidak ada cara lain atau upaya evakuasi yang cepat.

2.8.3. Kelemahan

Beberapa kelemahan highline adalah sebagai berikut: 1

  1. Berpotensi tegang dan merusak peralatan. Mungkin melebihi tali lain untuk teknik rescue, highline mempunyai tali overstress terhadap peralatan dan sistem anchor yang menyebabkan kerusakan.
  2. Butuh waktu. Highline sangat membutuhkan kerjasama tim dan adanya komunikasi ketika pengikatan, percobaan pemasangan pertama membutuhkan waktu sangat lama. Pada umumnya rescuer yang berpengalaman dengan highline selalu dapat melaksanakan dengan teknik yang lebih baik walaupun waktu mendesak.
  3. Menentukan orang pertama dan menyeberangkan tali.

2.8.4. Elemen

Beberapa elemen yang diperlukan dalam Highline adalah sebagai berikut: 1

  1. Tali utama

Tali akan menopang sebagian besar dari beban dalam Highline. Penggunaan satu tali untuk bentangan menanggung beban yang berat, untuk lebih aman diperlukan untuk menggunakan dua tali. Tali yang digunakan adalah tali yang keregangannya rendah seperti Kernmantel Static. Sebaliknya tidak dapat dikendalikan ketegangan pada sistem. Harus ada perhitungan yang tepat kelenturan pada tali utama untuk mencegah overstressing peralatan lain dan anchor.

  1. Anchor Dekat

Anchor ini untuk tambatan awal tali utama. Anchor harus sangat kuat karena highline menghasilkan stressing. Highline pada ketinggian yang sama, kedua anchor memperoleh tekanan yang sama. Highline pada ketinggian yang berbeda, anchor atas akan memperoleh tekanan yang lebih besar, terutama untuk sistem lowering.

  1. Anchor Jauh

Anchor ini tumpuan kedua setelah anchor pertama. Tali utama diseberangkan dari poin anchor pertama. Anchor ini harus kuat seperti anchor pertama.

  1. Beban

Beban pada Highline meliputi korban, rescuer dan peralatan.

  1. Pulleys

Beban dihubungkan dengan sebuah atau beberapa pulley dan bergerak di sepanjang tali. Pulley tandem sangat baik digunakan daripada pulley single jika menggunakan beban yang besar karena pulley tandem menciptakan sedikit tekukan pada tali dan membagi beban di sepanjang tali. Jika tidak tersedia pulley, carabiner screw bias dijadikan sebagai alternative pengganti, tetapi ini akan menghasilkan friksi yang besar dan merusak carabiner.

Gambar 2.53. Elemen Highliness

Sumber: BASARNAS, 2007

  1. Lowering/Belay Line

Pergerakan tali belay pada highline memiliki dua kemungkinan, yaitu

  1. Sebagai pengontrol beban. Pergerakan turun dikontrol oleh tali belay yang dimasukkan ke dalam figure of eight atau break bar Rack pada anchor pertama.
  2. Sebagai pengatur kecepatan konstan. Hali ini terjadi pada highline dengan ketinggian yang berbeda dari atas ke bawah. Jika highline dari bawah ke atas, maka diperlukan hauling system.
    1. Tag Line

Tag line pada highline memiliki dua kemungkinan:

  1. Sebagai pem-belay beban, pergerakan tali langsung ke belay device yang dikaitkan pada anchor kedua. Belayer akan menarik tali untuk memindahkan beban dari satu sisi ke sisi berikutnya. Untuk melakukan hal ini digunakan belay device untuk mempermudah penarikan.
  2. Sebagai penarik beban. Setelah beban mencapai tengah tali, personil yang siaga di poin dua akan menarik beban dengan tag line.

2.5.4. Pembebanan Highline

2.5.4.1. Pembebanan tanpa Tandu

Pembebanan highline tanpa tandu terdiri dari: 1

  1. Beban satu orang

Pulley menopang di atas sling. Carabiner dicantolkan pada poin di depan seat harness rescuer. Ujung bagian atas dipasang carabiner dan figure of eight yang selanjutnya dicantolkan ke dalam pulley dengan carabiner. Figure of eight dijadikan sentral point pengikatan karena dapat ditarik dari beberapa sisi tanpa berputar. Belay line dan tag line juga dicantolkan ke figure of eight dengan menggunakan carabiner.

Rescuer yang menggantung harus menggunakan sarung tangan untuk mengantisipasi memegang tali yang panas dan pulley yang bergerak selama pergerakan. Jika yang dipindahkan adalah korban, buat ikatan di pinggang korban yang cukup jauh dengan tali agar korban tidak dapat menjangkau bentangan tali yang bisa menyebabkan cidera tangan.

Gambar 2.54. Beban Satu Orang Teknik Highliness

Sumber: BASARNAS, 2007

  1. Beban dua orang

Variasi pengangkatan rescuer dan korban tanpa tandu adalah sebagai berikut

  1. Memasukkan sling penggantung ke dalam pulley. Korban dihubungkan dengan sling pendek ke harness korban, kemudian dicantolkan langsung ke sling penggantung.
  2. Menghubungkan korban ke pulley dengan sling pendek. Dibutuhkan tambahan sling pendek antara seat harness penolong dan seat harness korban. Pada langkah ini penolong mempunyai korban, posisi rescuer berada di atas korban.
  3. Menghubungkan korban dengan slingnya ke dalam pulley yang terpisah di atas bentangan tali utama. Hubungkan sling seat harness penolong dengan korban

2.5.4.2. Pembebanan dengan Tandu

Elemen pembebanan pada tandu adalah sebagai berikut: 1

  1. Spider

Sistem untuk highline menggunakan dua spider, masing-masing sedikitnya memiliki dua kaki. Pertama penyusunannya adalah menghubungkannya ke rail kepala tandu, yang lain menjepitkan ke bagian kaki. Masing-masing bagian atas kaki spider dipasang carabiner screw dan dicantolkan ke pulley di atas highline.

Gambar 2.55. Spider Tandu Teknik Highliness

Sumber: BASARNAS, 2007

  1. Kaitan Litter tender

Elemen pengikatan litter tender adalah adalah sebagai berikut

  1. Pig tail

Pig tail pada highline terbagi dua macam, yaitu

1)      Pig tail terpisah tender. Pig tail ini terbuat dari tali yang panjangnya kurang lebih 4 meter. Bagian atas pig tail dibuat figure 8 on bight dan dihubungkan ke pulley atas bagian kepala tandu. Untuk mengantisipasi kaitan ascender terselip di ujung pig tail, bagian bawah pig tail dihubungkan ke seat harness rescuer.

2)      Pig tail On Belay

Cara pembuatannya adalah :

a)      Ukur ujung tali belay kurang lebih 5 meter, buat simpul 8 on bight dan cantolkan ke carabiner pulley atas bagian kepala. Pada ujung tali pig tail dibuat simpul 8 on bight dan hubungkan ke rescuer untuk pengaman.

b)      Pasang prusik atau ascender untuk penompang litter tender

c)      Hubungkan dengan sling antara tandu dengan litter tender

  1. Ascender Pengait

Litter tender bisa mengatur ketinggian sesuai dengan posisi tandu dengan menggunakan dua penompang ascender yang dijeptkan ke pig tail. Satu ascender dipasang sling untk menghubungkan ascender dengan seat harnessnya dan ascender yang lain sebagai pijakan.

Gambar 2.56. Ascender Pengait dan Tangga Tali

Sumber: BASARNAS, 2007

  1. Tangga Tali

Alternatif lain dari penggunaan ascender pengait adalah tangga tali. Bagian ujung tangga tali dikaitkan ke carabiner bagian atas spider dan litter tender mengaitkan ke bagian yang paling tepat dari lubang tangga.

Keuntungan penggunaan tangga tali ini adalah sangat mudah digunakan dan dapat digunakan oleh personil yang tidak berpengalaman menggunakan ascender. Seedangkan kekurangannya adalah sekali litter tender tergantung di tangga tali/webbing dan litter tender berada di sisi atasnya, maka penolong kesulitan memindahkan posisinya. Kerugian yang lain adalah gerakan litter tender terbatas untuk bergerak ke bawah untuk membebaskan rintangan.

  1. 3. Etrier

Etrier adalah tangga pendek yang terbuat dari webbing, tempat penggunaanya di ascender atau menambahnya. Standar etrier normalnya sangat pendek, ini diperlukan penolong ketika mengangkat kakinya sangat tinggi untuk mendapat step bawah.

  1. Pengikatan Safety

Sling untuk safety dari seat harness litter tender dikaitkan ke rail tandu terdekat bagian kepala

  1. Posisi Litter tender

Posisi litter tender adalah seperti penggunaan litter lowering, yaitu duduk nyaman di seat harness dengan tandu di atas pangkuannya. Rescuer memegang rail tandu yang ada di dekatnya yang siap untuk menerima order ketika tandu tidak stabil.

  1. Posisi Korban

Pada highline horizontal, kepala korban diposisikan ke arah tengah tali. Pada highline menyudut, kepala ditempatkan di posisi yang paling atas.

  1. Spider

Spider dibuat pada dua pulley di atas tali dengan jarak yang tepat. Spider diciptakan dari webbing atau tali yang pendek melintas di antara dua carabiner pulley.

  1. Kaitan Lowering/Belay dan Tag Line

Lowering /belay dan tagline dikaitkan ke tandu bagian kaki dan kepala, digunakan sebagai slop evacuation.

2.8.6. Tahapan Pemasangan Highline

Tahapan kegiatan evakuasi highline adalah sebagai berikut: 1

  1. Mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan, yaitu
    1. Satu buah tali lintasan utama. Panjang keseluruhan mencakup

1)      Sepanjang pemisah untuk jembatan yang akan digunakan

2)      Sepanjang sudut masing-masing anchor

3)      Sepanjang yang dibutuhkan untuk pengikatan pada anchor di kedua sisi

  1. Satu buah lowering/tali belay. Panjangnya mencakup

1)      Sepanjang dari belay device pada anchor dekat sampai poin seberang dimana beban terikat

2)      Sejumlah tali yang dibutuhkan untuk pengikatan dan beban

3)      20 kaki untuk spare

  1. Satu buah tag line. Panjangnya mencakup

1)      Jarak dari tempat beban diikat pada anchor dekat ke belay device anchor sisi jauh

2)      Sepanjang yang dibutuhkan untuk pengikatan dan beban

3)      20 kaki untuk spare

  1. 13 belas buah carabiner screw. Rincian penggunaannya adalah

1)      Untuk sistem anchoring tunggal (minimal 4 buah)

2)      Untuk mencantolkan tandu/beban ke highline ( 2 buah )

3)      Untuk cantolan pig tail dari lowering belay dan tag line ke pulley (2 buah)

4)      Untuk mencantolkan litter spider ke tandu (4 buah)

5)      Untuk mencantolkan penolong ke tandu (1 buah)

  1. Peralatan anchor, meliputi

1)      Pengikatan tandu

2)      sets litter spider

3)      1 spider

4)      1 tandu

5)      pulley untuk tali utama

6)      1 pig tail litter tender

7)      2 ascender dan sling untuk penolong

8)      1 safety sling untuk rescuer memproteksi sudut untuk kedua sisi

  1. Memilih lapangan yang tepat, pertimbangannya meliputi
    1. Memungkinkan untuk membentangkan tali
    2. Ruangan untuk kedua sisi pengikatan beban dan personil untuk keluar dan masuk
    3. Terdapat anchor
    4. Harus kuat dan aman
    5. Cukup tinggi agar beban dapat melewati sudut tanpa memaksa
  1. Ada tim kedua untuk sisi jauh

Semua personil harus dibriefing dengan seksama sebelum melakukan tahapan yang dikerjakan dan berkomunikasi. Radio sangat dibutuhkan sebagai alat komunikasi.

  1. Menempatkan ujung tali sisi seberang

Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah:

  1. Menggunakan line gun, menggunakan tali kecil untuk ditembakkan ujung tali diikatkan ke tali utama dan kemudian ditarik
  2. Personil menyeberang ke sisi sebelah, mungkin dengan cara berjalan kaki atau apapun yang dilakukan dengan membawa tali
  3. Jika bangunan gedung atau line gun tidak berfungsi, beberapa cara yang dapat dilakukan:

1)      Menurunkan ujung tali utama ke dasar

2)      Ada orang yang menarik ujung tali ke struktur bangunan sebagai sisi jauh

3)      Menurunkan tim di sisi jauh, kemudian menarik tali di dasar. Kedua ujung diikatkan bersama dan tim menarik tali utama.

  1. Prosedur pada sisi pertama
    1. Membuat anchor untuk lowering/belay rope
    2. Mencantolkan lowering system (figure 8 descender atau brake bar) ke anchor
    3. Mengikat tali belay ke beban
    4. Memasang tali belay ke lowering system dan menguncinya
    5. Sistem pengikatan ke tandu atau ke orang tunggal yang hakikatnya adalah beban
    6. Set beban ke main rope (tali membentang). Pastikan penurunan dikontrol belayer dengan belay line.
    7. Kaitkan tagline pada sistem tandu/beban
    8. Litter tender mengaitkan dirinya ke sistem tandu
  1. Prosedur pada sisi kedua
    1. Tersedia personil yang berada pada anchor dengan ujung tali utama
    2. Menarik tali utama hingga mencapai perhitungan kelenturannya layak, kemudian berada di sisi tali utama.
    3. Memasang tag line (dikerjakan bersamaan dengan pemasangan tali utama) dimulai dari sisi dekat, mengamankan ujung tag line dan jangan sampai tergelincir ke bawah
    4. Membuat anchor di sisi untuk tagline belay device dan mencantolkan belay device ke anchor system serta langsung memasang tag line ke belay device.
  1. Memulai penggerakan beban
    1. Sebelum memulai memindahkan beban, lakukan pengecekan terhadap sistem pengikatan, termasuk anchor di dua sisi
    2. Pastikan semua orang siap, meliputi:

1)      Litter tender atau orang yang dikaitkan ke beban

2)      Brakeman pada belay line

3)      Belayer pada tag line

4)      Edge tender

  1. Ketika semua personil siap, litter tender atau orang yang dikaitkan I beban mengatakan “ON BELAY”, kemudian Brakeman dan belayer tag line mengatakan “BELAY ON”. Jika litter tender mengatakan “DOWN SLOW”, brakeman mengendorkan talinya dengan perlahan dan kemudian belayer mengendorkan tali belay-nya.
  1. Saat beban mencapai di sisi seberang dan posisi aman, litter tender atau orang yang tergantung mengatakan “STOP”, brakeman akan menyetop talinya.
  1. Ketika litter tender/ orang yang tergantung aman diseberang, dan yang bersangkutan mengatakan “OFF BELAY”, belayer dan brakeman menjawab dengan “OFF BELAY”, maka pekerjaan sudah selesai dilaksanakan.

2.6. Simpul

2.9.1. Definisi

  1. Simpul adalah istilah pengikatan. 2
  2. Bight adalah tekukan tali yang tidak menyilang. 2,3,4
  3. Loop adalah tekukan tali hingga menyilang dan menyerupai bulatan. 2,3
  4. Running End adalah ujung tali yang digerakkan untuk membuat simpul. 2
  5. Turn adalah satu kali lilitan pada benda lain. 2
  6. Round Turn adalah dua kali lilitan pada benda lain. 2
  7. Standing adalah bagian tali yang siap digunakan. 2

2.9.2. Syarat Kualitas Simpul yang Baik

Syarat kualitas simpul yang baik adalah sebagai berikut: 2

  1. Mudah dibuat
  2. Mudah diingat
  3. Menghasilkan ikatan yang kuat
  4. Mudah dibuka

2.9.3. Jenis-jenis Simpul

Jenis-Jenis Simpul dasar yang diperlukan dalam teknik High Angle Rescue adalah sebagai berikut: 2,4

  1. Simpul Thunb / over hand, fungsinya sebagai simpul dasar dan pengaman simpul.

Gambar 2.57. Simpul Thunb/Overhand

Sumber:

  1. Simpul figure of eight, fungsinya sebagai simpul di ujung tali / stopper (mencegah orang terselip) dan menyambung tali (eight bend)

Gambar 2.58. Simpul Figure of eight

Sumber:

  1. Simpul 8 in bight, fungsinya untuk membuat ikatan yang baitnya dapat langsung dicantolkan.

Gambar 2.59. Simpul 8 in Bight

Sumber:

  1. Simpul 8 follow through, fungsinya untuk pengikatan langsung dengan menjalankan running endnya

Gambar 2.60. Simpul 8 Follow Through

Sumber:

  1. Simpul 8 double bight, fungsinya untuk tambatan pada dua anchor point

Gambar 2.61. Simpul 8 Double Bight

Sumber:

  1. Simpul 8 On Line, fungsinya untuk membuat simpul di tengah tali untuk digunakan tiga pembebanan dengan dua arah.

Gambar 2.62. Simpul 8 On Line

Sumber:

  1. Simpul batterfly (kupu-kupu), fungsinya untuk membuat simpul di tengah tali, menyimpan bagian tali yang rusak, penarikan pada tiga pembebanan dengan tiga arah.

Gambar 2.63. Simpul Butterfly

Sumber:

  1. Simpul pangkal (clove hitch), fungsinya untuk menyimpul jika satu bagian ditarik simpul akan semakin menjerat

Gambar 2.64. Simpul Pangkal

Sumber:

  1. Double fisherman, fungsinya menyambung tali yang besarnya sama

Gambar 2.65. Simpul 8 Double Fishermans

Sumber:

2.7. Anchoring

2.10.1. Definisi

  1. Anchoring adalah sistem pengaman pokok tali dan elemen lain dalam kegiatan vertical rescue. 2
  2. Anchor point adalah titik tambatan yang dihubungkan tali anchor. 2
  3. Anchor buatan adalah peralatan yang didesign khusus untuk anchor point yang dimanfaatkan sesuai dengan kondisi alam, pemanfaatannya memanfaatkan celah batu, seperti choks, hexcentrik dan piton. 2

2.10.2. Bagian-bagian Anchor

Bagian-bagian anchor adalah sebagai berikut: 2

  1. 1. Anchor point
  2. Kaki Anchor
  3. Arah lintasan

2.10.3. Peralatan yang Dibutuhkan

Peralatan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: 2

  1. Menggunakan tali pokok
  2. Menggunakan potongan tali lain

Caranya adalah

  1. Membuat ikatan pada anchor point
  2. Simpul figure 8 on bight ditempatkan pada arah lintasan
  3. Cantolkan carabiner pada figure 8 knot
  1. Menggunakan webbing
    1. Webbing adalah peralatan yang tepat untuk anchor. Keuntungannya adalah lebih murah daripada tali dan mudah dibawa. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan untuk membuat bermacam-macam simpul.
    2. Webbing sangat tepat untuk membuat loop yang runners, selalu digunakan cepat dan cocok untuk setting anchor. Jika tidak tersedia runner, runner dapat dibuat dari sepotong webbing yang diikatkan membentuk loop dengan simpul pita.
    3. Pemasangan webbing pada anchor point

1)      Membuat loop kemudian mengaitkan ke anchor point

2)      Ikatan langsung, webbing dibelitkan terlebih dulu kemudian disimpul pita.

2.10.4. Kekuatan Anchor

Anchor harus dapat menahan beban yang berat, pada setiap sistem pertolongan vertical, perhitungan akhirnya adalah safety factor. Anchor dapat kuat jika dihubungkan dengan beberapa tumpuan atau jika ada anchor point apakah pohon dengan akar yang kuat atau tonjolan batuan yang sangat kuat. Anchor seperti ini disebut BOMB Proof. 2

Memilih anchor point yang mampu menahan beban seperti: 2

  1. Anchor dari alam, contoh: pohon yang hidup lebih kuat dari pohon yang sudah mati
  2. Anchor point dari struktur bangunan, contoh: struktur tiang bangunan umumnya lebih kuat dari pada susunan tangga.
  3. Bagian pengikatan, contoh: bila anchor point-nya pohon. Pengikatan dekat dengan tanah akan lebih kuat dari pada bagian atas.

2.7.4. Arah Penarikan

Pemasangan beberapa tali anchor biasanya kuat hanya ditarik satu arah, jika arahnya dirubah akan menjadi lemah atau rusak. 2

2.10.6. Posisi Anchor

Posisi anchor mempunyai pengaruh pada kegiatan di ketinggian, kondisi yang ideal, anchor dekat dan langsung di atas subyek. Posisi anchor harus ditempatkan di sisi korban, yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut: 2

  1. Kondisi batuan atau bahaya benda lain yang akan menjatuhi korban atau penolong
  2. Kondisi antara anchor point dan obyek pertolongan membahayakan rescuer atau merusak peralatan seperti tali

2.10.7. Penempatan Pengarah Lintasan

Ketika membuat anchor dan arahnya, harus selalu berfikir aman dan pengaruh lintasan selalu tepat untuk siapa saja yang menggunakannya seperti gambar di atas. Contoh, mungkin terdapat beberapa improvisasi dengan merubah lokasi anchor dan arahnya. Jika anchor point merupakan sebuah pohon, tempatnya cukup jauh ke belakang dari bibir tebing, jika digunakan maka hasilnya adalah: 2

  1. Kecil kemungkinan jatuh bagi orang yang bertugas membuat pengikatan sistem anchor
  2. Pengikatan dan pengontrolan akan lebih mudah
  3. Dengan tali melewati sudut, tidak semua berat akan langsung pada anchor, sebagian akan ditanggung oleh sudut. (kekurangannya akan membuat abrasi pada tali)

2.10.8. Back up Anchor

2.10.8.1. Alasan Pembuatan Back up Anchor

Alasan pembuatan back up anchor adalah sebagai berikut: 2

  1. Kondisi anchor point

Kalau berpotensi rusak atau peralatan disangkutkan, kemudian anda membutuhkan anchor point lain. Penyebab anchor mengalami rusak antara lain:

1)      Kekuatan anchor point diragukan. Jarang mengetahui pasti macam ketegangan anchor yang ada

2)      Kesalahan orang. Simpul mungkin diikatkan tidak benar, snap carabiner mungkin belum terkunci

3)      Peralatan yang rusak. Tali dan webbing yang terkikis dan peralatan lain tegang.

  1. Operasi pertolongan di alam terbuka

Untuk tali utama dan tali belay, membutuhkan dua anchor yang terpisah. Karena jika keduanya langsung dari satu anchor point, tali kusut atau rusak karena terjadi penyilangan. Substansi belay adalah sebagai pengaman orang yang jatuh dan untuk anchor ke dua.

  1. Beban dan tegangan

Bervariasi intensitasnya tergantung tujuan penggunakan anchor, di antaranya adalah

1)      Hanya untuk menggantung peralatan

2)      Hanya untuk beban orang

3)      Operasi penurunan korban

4)      Sistem pengangkatan

5) Higlines

2.10.8.2. Pembuatan Back up

Pembuatan back up adalah: 2

  1. Back up pada anchor point yang sama
  2. Back up pada anchor point terpisah

2.10.9. Anchor Ganda

Tujuannya untuk memberikan keyakinan, terdiri dua atau lebih anchor point. Hal ini dikarenakan satu anchor point tidak cukup untuk menahan antisipasi kekuatan, atau jika satu anchor point posisinya menyangsikan. 2

Pembagian beban anchor merupakan pilihan, agar beban yang terbagi masing-masing point dengan berat yang sama. Sudut anchor disarankan selalu 45-90 derajat.2

Gambar 2.66. Sudut Anchor

Sumber: BASARNAS, 2009

2.8. Belay

2.11.1. Definisi

  1. Belay adalah tindakan mengamankan semua aktifitas di tali. 2
  2. Belayer adalah orang yang membelay. 2
  3. Active Rope adalah bentangan tali antara belayer dan rescuer. 2
  4. Inactive rope adalah sisa tali yang siap ditarik. 2

2.11.2. Sistem Kerja

Sistem kerja dalam belay adalah memanfaatkan friksi antara tali dan belay device.2

2.11.3. Prinsip Dasar Pemasangan Belay

Prinsip Dasar Pemasangan Belay adalah sebagai berikut: 2

  1. Anchor dibuat terpisah dari anchor utama
  2. Belayer membuat anchor tersendiri
  3. Anchor untuk belayer dibuat berdekatan dengan system anchor utama
  4. Hindari tali menyilang

2.11.4. Pengaturan Tali

Belay harus dilakukan dengan mengendorkan tali sedikit demi sedikit selama mendapat beban. Belayer harus selalu waspada terhadap keseluruhan operasional.2

2.11.5. Pengaturan Beban Hentakan

Belayer harus mempertahankan bentuk pengendalian dengan inactive rope setiap saat jika diminta untuk mengontrol hentakan beban. Jika suatu saat terjadi hentakan tiba-tiba, belayer menggunakan inactive rope dan menarik anchore point ke belakang.2

2.11.6. Teknik Belay

Beberapa macam teknik belay adalah sebagai berikut: 2

  1. Menggunakan Belay plate
    1. Pengoperasian Belay plate

Belayer memegang salah satu tali yang keluar dari lobang belay plate, mengontrol pergerakan dengan mengulur secara perlahan

  1. Mengunci plate

Gambar 2.67. Penguncian Belay Plate

Sumber: BASARNAS, 2009

  1. Menggunakan Carabiner

Simpul itali adalah bentuk ikatan dengan tali belay pada anchor carabiner seperti gambar di bawah ini. Ikatan dikontrol menyamai belay plate, dengan mengulur sacara perlahan.

Gambar 2.68. Belay Menggunakan Carabiner

Sumber: BASARNAS, 2009

  1. Menggunakan Figure of eight

Ada dua cara membelay dengan menggunakan figure of eight

  1. Memanfaatkan lubang kecil figure of eight yaitu dengan membuat bight dan memasukkan ke dalam lubang kemudian dikaitkan carabiner screw gate , penggontrolan tali sama dengan belay plate.

Gambar 2.69. Belay Menggunakan Figure of eight

Sumber: BASARNAS, 2009

  1. Memasang figure of eight seperti akan melakukan rappelling yaitu dengan membuat bight dimasukkan ke dalam lubang yang besar kemudian lop bight dikaitkan ke bagian kecil figure of eight.

Gambar 2.70. Belay Menggunakan Figure of eight

Sumber: BASARNAS, 2009

Mengunci dengan cara menarik inactive rope ke belakang dan membuat bight kemudian dimasukkan ke dalam anchor carabiner diteruskan mengikatkan two half hit mengelilingi active rope.

Gambar 2.71. Belay Menggunakan Figure of eight

Sumber: BASARNAS, 2009

  1. Menggunakan Auto Stop

Descender autostop cukup baik digunakan untuk membelay dan dapat langsung mengunci, cara pemasangannya sesuai gambar yang dicantumkan pada alat dan bagian yang terbebani adalah bagian yang atas.

Gambar 2.72. Descender Autostop

Sumber: http://www.libo.com.ar/galeria_camp.asp

2.11.7. Prosedur Pemanggilan

Panggilan untuk belay sangat bervariasi di antara berbagai organisasi, yang disarankan untuk kegiatan di lingkungan vertical atau high angle sebagai berikut: 2

Panggilan Pemanggil Arti
ON ROPE

READY

TENSION

SLACK

MOVE WHEN READY

MOVING

STOP

CLEAR

OFF BELAY

RESCUER

BELAYER

RESCUER

RESCUER

BELAYER

RESCUER

RESCUER

RESCUER

BELAYER

Pertanyaan apakah tali siap

Pernyataan tali siap

Narik tali yang kendor dalam system

Supaya dikendorkan

Belayer telah siap, silahkan untuk bergerak

Rescuer mulai bergerak

Permintaan untuk mengunci/berhenti

Permintaan untuk membebaskan dan mengulur

Belay sudah membebaskan tali

Tabel 2.4. Prosedur Pemanggilan Belay

Sumber:

2.11.8. Aturan Dasar Keselamatan

Aturan dasar keselamatan dalam Belay adalah: 2

  1. Anchor belay harus dipilih dengan hati-hati dan dibuat terbebas dari daerah yang membahayakan
  2. Belayer harus menggunakan sarung tangan
  3. Menggunakan standart pemanggilan
  4. Hindarkan tali saling menyilang berpotongan dan menyentuh tali sling lain
  5. Belayer harus penuh perhatian terhadap tugas yang dihadapinya dan tangan selalu di tali setiap saat
  6. 6. Belayer harus dapat mengunci saat keadaan emergency
  7. Belay harus selalu memperhatikan rescuer dan menghadap ke tebing untuk memonitor kemungkinan batu yang terlepas atau peralatan lain yang jatuh
  8. Semua ikatan belay harus dikaitkan dengan carabiner yang menggunakan screw
  9. 9. Belay harus dicheck oleh safety officer

2.9. Prosedur Keselamatan

Prosedur keselamatan yang harus dipatuhi dalam High Angle Rescue adalah: 2

  1. Area aman
  2. Penggunaan APD (Alat Perlindungan Diri)
  3. Penentuan pimpinan lapangan
  4. Pemasangan safety line
  5. Mencari dan menentukan anchor
  6. Membuat dan mengontrol simpul-simpul
  7. Menyimpan alat yang belum terpakai dalam kantong
  8. Memproteksi
  9. Tidak menginjak tali

10.  Menghindari pergesekan antar tali

11.  Tidak melempar barang sembarangan

12.  Tidak menarik tali pada permukaan kasar

13.  Member isyarat jika kondisi memaksa untuk melempar

BAB 3

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

3.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

  1. BASARNAS. Pendidikan dan Latihan dasar SAR-1/2009. Jakarta: BASARNAS, 2009. Hal: 1-61
  2. BASARNAS. Pendidikan dan Latihan dasar SAR. Jakarta: BASARNAS, 2007. Hal: 1-115
  3. Dr. D. F. Merchant.2004. Life on a Line. http://www.draftlight.net/lifeonaline.

my second blogs….


alhamdulillah….

akhirnya blog kedua sukses dirilis setelah sukses dengan blog pertama….

sekedar informasi, sekitar sebulan yang lalu rhudymarseno.corp telah merilis blog yang bernama “rhudymarseno.com” yang berisi beberapa tulisan dari rhudy marseno dan dari beberapa orang-orang tedekat….bagi anda yang haus akan informasi, silakan kunjungi terus blog ini ataupun bisa mengakses blog “rhudymarseno.com” dengan mengetik http://www.rhudymarseno.blogspot.com

terima kasih

rhudy marseno


Hello world!


Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!